Pandangan agama tentang masturbasi

Pandangan agama tentang masturbasi

Di antara agama-agama di seluruh dunia, pandangan mengenai masturbasi bervariasi. Sebagian agama memandangnya sebagai suatu praktik yang merugikan secara rohani, beberapa menganggapnya tidak merugikan secara rohani, dan yang lainnya mengambil suatu pandangan situasional. Di antara agama-agama yang mengambil posisi terakhir, beberapa menganggap masturbasi diperbolehkan jika digunakan sebagai suatu sarana kontrol diri secara seksual, atau sebagai bagian dari eksplorasi diri yang sehat, tetapi melarangnya jika dilakukan dengan motivasi yang dianggap salah ataupun sebagai suatu adiksi.

Agama Abrahamik sunting

Keilmuan biblika sunting

Menurut tradisi, kisah biblis Onan (Kejadian 38) dikaitkan dengan masturbasi dan kecaman daripadanya,[1] kendati tindakan seksual yang dideskripsikan oleh kisah itu dipandang sebagai coitus interruptus ("sanggama terputus"), bukan masturbasi.[2][3][4][5][6] Tidak terdapat pernyataan secara eksplisit di dalam Alkitab bahwa masturbasi adalah dosa.[7][8]

Menurut James Nelson, terdapat tiga tinjauan interpretatif mengapa perbuatan Onan dikutuk: kisah Onan mencerminkan karakteristik "prokreatif" yang kuat dalam penafsiran Ibrani terkait seksualitas, suatu pemikiran "pra-ilmiah" yang memandang bahwa anak terkandung di dalam sperma dengan cara yang sama seperti tanaman terkandung di dalam benihnya, dan masturbasi sebagaimana tindakan homoseksual oleh kaum pria dikecam lebih keras daripada tindakan-tindakan serupa oleh kaum wanita dalam tradisi Kristen-Yahudi.[9]

Menurut The Oxford Handbook of Theology, Sexuality, and Gender, sejumlah akademisi mengemukakan bahwa kata 'tangan' yang tertulis dalam Matius 5:29-30, Markus 9:42-48, dan Matius 18:6-9 kemungkinan mengimplikasikan masturbasi sebagaimana di dalam Mishnah (m. Nid. 2.1).[10]:204 Mengenai perikop-perikop Alkitab tersebut, The Oxford Encyclopedia of the Bible and Gender Studies menyatakan pandangan Will Deming: "Perbuatan dosa oleh mata, tangan, dan kaki mungkin berasal dari suatu tradisi peringatan-peringatan formulais menentang tatapan penuh nafsu (dengan mata), masturbasi (dengan tangan), dan perzinaan (dengan 'kaki', eufemisme Ibrani untuk alat kelamin)."[11] Selain mata, Deming berpendapat bahwa "tangan memainkan suatu peran penting juga dalam hawa nafsu, melalui masturbasi".[12]

Kekristenan sunting

Kristen Katolik dan Ortodoks memandang masturbasi sebagai suatu dosa.

Gereja perdana sunting

Klemens dari Aleksandria (c. 150 – c. 215), seorang Bapa Gereja Yunani dari Mesir, menulis dalam Paedagogus atau Sang Pengajar karyanya:

Karena institusi ilahi untuk perbanyakan manusia, benih bukanlah untuk dipancarkan ke luar secara sia-sia, bukanlah juga untuk dihancurkan, bukanlah juga untuk dibuang secara cuma-cuma.

Para akademisi seperti Raj Bhala dan Kathryn M. Kueny mengatakan bahwa pernyataan Klemens mencakup coitus interruptus maupun masturbasi, yaitu tindakan-tindakan yang "merusak kodrat".[13] Menurut Kueny, "penggunaan ramuan-ramuan spermisida" juga termasuk di dalamnya.[14] John G. Younger menilai bahwa Klemens berbicara tentang masturbasi serta "kaum wanita maskulin dan kaum pria banci" di dalam Paedagogus karyanya, menyebutnya sebagai pelanggaran kodrat setiap tindakan seksual yang tujuannya selain menghasilkan keturunan.[15]

Berbicara tentang kaum Gnostik Mesir terkait pengalaman dia sebelumnya dengan mereka, Epifanius dari Salamis (310/320 – 403), seorang Pujangga Gereja dan Bapa Gereja Bizantin, menyatakan dalam Panarion atau Tabut Obat-obatan karyanya:

Mereka melakukan tindakan-tindakan genital, tetapi menghindari perkandungan anak-anak. Bukan untuk menghasilkan keturunan, tetapi untuk memuaskan nafsu, mereka asyik dengan penyalahgunaan.[16]

John T. Noonan Jr. mengatakan bahwa kaum Gnostik yang dideskripsikan oleh Epifanius mempraktikkan "tindakan-tindakan seksual non prokreatif" sebagai pusat dalam ritus-ritus keagamaan mereka. Epifanius menyebut praktik-praktik tersebut, yang meliputi coitus interruptus, masturbasi, dan tindakan homoseksual, sebagai "ritus-ritus dan upacara-upacara iblis".[16] Shenoute (348-466), tokoh Bizantin lainnya yang dipandang sebagai seorang santo dalam Gereja Ortodoks Oriental, memandang masturbasi sebagai suatu pelanggaran seksual[17] dan suatu "aktivitas seksual terlarang yang sesungguhnya".[18]

Para akademisi seperti Robert Baker dan Simon Lienyueh Wei meyakini bahwa Agustinus dari Hippo (354–430), seorang Pujangga Gereja dan Bapa Gereja Latin, memandang masturbasi sebagai suatu dosa.[19][20][21] Akademisi lainnya, Merry E. Wiesner-Hanks dan Carly Daniel-Hughes, mengatakan bahwa Agustinus mengutuk semua aktivitas seksual yang bertentangan dengan prokreasi termasuk tindakan seksual dan masturbasi—atau "kenikmatan soliter".[22][23] Carly mengatakan bahwa Agustinus juga memandang "masturbasi bersama" sebagai "persetubuhan yang tidak alamiah" berdasarkan Roma 1.[23] Isidorus dari Sevilla, Pujangga Gereja dan Bapa Gereja Latin lainnya, memandang masturbasi sebagai suatu perilaku "banci",[24][25] kendati para penulis penitensial awal tampaknya tidak sepenuhnya setuju dengan dia.[26] Dalam Etymologiae karyanya (c. 600–625), Isidorus berpendapat bahwa melalui masturbasi seseorang mempermalukan "energi seksnya dengan tubuhnya yang lemah".[25]

Namun, seorang teolog Katolik pembangkang bernama Charles E. Curran mengklaim bahwa "para bapa Gereja praktis memilih diam dalam hal pertanyaan sederhana mengenai masturbasi".[27] Arthur J. Mielke menyatakan pandangan James A. Brundage dengan kata-kata: "tema-tema mengenai masturbasi dan fantasi seksual tidak penting bagi para penulis pagan ataupun Kristen hingga abad keempat atau kelima" (saat terjadinya kebangkitan monastisisme).[28] Kenyataannya, Brundage sendiri menyatakan dalam bukunya bahwa para penulis itu tidak terlalu menaruh banyak perhatian pada hal-hal tersebut,[29] serta "hanya menaruh sedikit perhatian pada praktik-praktik masturbasi dan homoseksual",[30] tanpa menyatakan "tidak penting".

Giovanni Cappelli, sebagaimana ditulis oleh James F. Keenan, berpendapat bahwa seiring dengan berkembangnya komunitas-komunitas monastik, kehidupan seksual para rahib menjadi sorotan dua orang teolog, Yohanes Kasianus (365–433) dan Sesarius dari Arles (470–543), yang berkomentar tentang berbagai kebiasaan atau perilaku buruk dalam kehidupan 'soliter'. Cappelli mengklaim bahwa "kekhawatiran mereka bukanlah pada tindakan masturbasi, tetapi pada para rahib yang berkaul kemurnian. Janji para rahib menjadikan masturbasi suatu tindakan terlarang; tindakan itu sendiri tidak dianggap berdosa." Keenan menambahkan: "Bahkan, sepengamatan Cappelli, Louis Crompton, dan James Brundage, sebelum Kasianus masturbasi tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran seksual bagi siapa saja."[31]

Bagaimanapun, Brundage menulis dalam bukunya bahwa Kasianus memandang "masturbasi dan kecemaran nokturnal sebagai isu-isu sentral dalam moralitas seksual dan mencurahkan banyak perhatian pada kedua hal itu". Kasianus memandang "emisi nokturnal" sebagai suatu masalah yang sangat penting karena merupakan suatu indikasi adanya "nafsu badani" dan, apabila seorang rahib masih belum berhasil mengatasinya, "kehidupan rohaninya dan keselamatannya mungkin berada dalam bahaya".[29] Dalam Conlationes, Kasianus menggunakan kata "kenajisan" (immunditia, sebagaimana tertulis dalam Kolose 3:5) sebagai suatu istilah yang setara untuk menyebut masturbasi maupun emisi nokturnal, dengan tegas memandang masturbasi sebagai suatu bentuk "pelampiasan seksual" yang tidak dapat diterima.[32] Dalam De institutis coenobiorum, ia memberikan penekanan khusus pada "dosa percabulan, yang mencakup masturbasi dan berfantasi seksual".[33] Brundage melihat Sesarius menganut pandangan yang sama seperti Kasianus. Dalam Khotbah-Khotbah karyanya, Sesarius memandang "setiap kerinduan seksual, untuk mengatakan tidak pada stimulasi diri yang disengaja, suatu dosa yang serius dan menempatkannya setara dengan perzinaan ataupun pengumbaran yang berlebihan dalam hubungan seks oleh pasangan suami-istri".[29] Menurut Simon Lienyueh Wei, sebagaimana dikutip oleh beberapa akademisi, Yohanes Kasianus dan Agustinus dari Hippo berpendapat bahwa adalah dosa apabila emisi tersebut merupakan akibat dari "suatu pengalaman ataupun pembangkitan kenangan menyenangkan yang penuh nafsu"; apabila di luar hal-hal itu maka dipandang sebagai "suatu fungsi jasmaniah".[20][21]

Mark W. Elliott mengatakan bahwa Paus Gregorius I (c. 540 – 604)—umumnya dikenal sebagai Gregorius Agung, seorang Pujangga Gereja dan Bapa Gereja Latin—memandang Imamat 15, yang membahas kecemaran ritual, menyajikan "aturan-aturan bagi semua di dalam komunitas gereja dengan menghubungkan emisi dengan yang berasal dari hubungan seksual, bukannya interpretasi terdahulu 'emisi nokturnal' monastik. ... Ia, bagaimanapun, menetapkan bahwa emisi-emisi nokturnal—apabila disebabkan karena sakit ataupun luapan secara alamiah—tidak menjadi soal bagi kekudusan, tetapi merupakan persoalan jikalau terdapat persetujuan (yaitu masturbasi)."[34] Dengan menyejajarkan menstruasi pada kaum wanita dengan "hilangnya semen tanpa kesengajaan", Gregorius menyatakan bahwa "luapan secara alamiah" tidak menghalangi kaum awam dan klerus untuk berpartisipasi dalam Ekaristi.[35]

Kanon 8 Sinode Victory dari abad ke-6 memberlakukan silih pada orang "yang [berhubungan] di antara paha-pahanya, [tiga] tahun. Namun, jika dengan tangannya sendiri atau tangan orang lain, dua tahun."[36] Tindakan-tindakan itu mengacu pada "masturbasi bersama" dan "percabulan femoralis".[37] Perangkat aturan tertua lainnya yang juga menetapkan penitensi atau silih untuk masturbasi yaitu Petikan-petikan dari Kitab St. David[38] dan Kanon-Kanon dari Yohanes IV.[39][40] Setelah itu, banyak penitensial awal, seperti Penitensial Finnian, Penitensial Kolumbanus, Penitensial Cummean, Paenitentiale Theodori, Paenitentiale Bedae, dan kedua "sinode Santo Patrisius", memberlakukan penitensi-penitensi dengan kadar berat yang beragam untuk perbuatan masturbasi (sendiri ataupun bersama orang lain) pada kaum monastik maupun kaum awam.[10]:299[20][36][38][41][42]

Ortodoksi Timur sunting

Gereja Ortodoks Timur memandang seksualitas sebagai suatu karunia dari Allah yang menemukan pemenuhannya dalam hubungan suami-istri, dan karenanya penyalahgunaan karunia seksualitas manusia adalah dosa. Karena tindakan masturbasi terarah pada diri sendiri, dan berdasarkan hakikatnya tidak mampu mengungkapkan kasih dan perhatian kepada pribadi lainnya, maka masturbasi dipandang sebagai suatu distorsi dalam penggunaan karunia seksualitas. Hal ini utamanya tampak jelas pada saat masturbasi menjadi suatu adiksi atau kecanduan. Pada dasarnya, praktik pemuasan diri dipandang tidak menghormati tujuan dari karunia seksualitas yang diberikan Allah.[43]

Dosa-dosa seksual percabulan, perzinaan, dan masturbasi, sebagaimana kebencian, iri hati, kemabukan, dan dosa-dosa lainnya, dipandang sebagai dosa dalam hati yang setimpal dengan dosa jasmaniah. Berpaling dari dosa seksual berarti berpaling dari kesenangan pribadi yang tujuannya pemuasan diri. Alih-alih berpaling pada keinginan daging, umat Kristen Ortodoks perlu berpaling pada Roh Kudus, yang buah-buahnya diyakini adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.[44]

Ortodoksi Oriental sunting

Gereja Ortodoks Koptik memandang masturbasi sebagai suatu dosa karena perbuatan ini dinilai sebagai suatu "bentuk kenikmatan seksual di luar rancangan Allah".[45]

Katolisisme Roma sunting

Dalam Katekismus Gereja Katolik, Gereja Katolik mengajarkan:

Masturbasi dipahami sebagai rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan memperoleh kenikmatan seksual. "Baik Magisterium Gereja, dalam perjalanan tradisinya yang panjang dan tetap sama, maupun pengertian moral umat beriman dengan tanpa keraguan dan dengan tegas mempertahankan bahwa masturbasi adalah suatu tindakan yang pada hakikatnya sangat bertentangan dengan keteraturan." "Untuk alasan apa pun, penggunaan kemampuan seksual secara sengaja di luar pernikahan pada dasarnya bertentangan dengan tujuannya." Karena dalam hal ini kenikmatan seksual dicari di luar "hubungan seksual yang dituntut oleh tatanan moral, yang di dalamnya dapat tercapai makna sepenuhnya dari penyerahan diri secara timbal balik dan prokreasi manusia dalam konteks cinta sejati."Untuk membentuk suatu penilaian yang adil mengenai tanggung jawab moral pelakunya dan untuk menuntun tindakan pastoral, orang perlu mempertimbangkan ketidakmatangan afektif, tekanan kebiasaan yang dikembangkan, kondisi kecemasan atau faktor psikologis maupun sosial lainnya, yang dapat mengurangi kesalahan moral atau bahkan menurunkannya ke tingkat minimum.[46]

Meskipun "dikatakan bahwa psikologi dan sosiologi memperlihatkan bahwa [masturbasi] adalah suatu fenomena normal dalam perkembangan seksual, khususnya di kalangan kawula muda," hal ini tidak mengubah kenyataan bahwa masturbasi "adalah suatu tindakan yang secara intrinsik sangat bertentangan dengan keteraturan" dan "bahwa, apa pun motif untuk bertindak dengan cara ini, penggunaan secara sengaja kemampuan seksual di luar hubungan suami-istri yang normal pada dasarnya bertentangan dengan tujuan dari kemampuan itu. Karena [masturbasi] tidak mengandung hubungan seksual yang dituntut oleh tatanan moral, yaitu hubungan yang mewujudkan 'arti sepenuhnya saling memberikan diri dan prokreasi manusia dalam konteks cinta sejati.'"[47]

Menurut ajaran Gereja, penggunaan secara sengaja kemampuan seksual di luar pernikahan adalah berlawanan dengan tujuan utama prokreasi (reproduksi) serta penyatuan suami dan istri di dalam Sakramen Perkawinan.[48] Selain itu, Gereja mengajarkan bahwa semua aktivitas seksual lainnya—termasuk masturbasi, tindakan homoseksual, sodomi, segala jenis seks di luar ataupun sebelum perkawinan (percabulan), dan penggunaan segala bentuk kontrasepsi atau pengaturan kelahiran—adalah sedemikian bertentangan dengan keteraturan,[47] karena hal-hal demikian tidak sesuai dengan tatanan alam, tujuan, dan akhir dari seksualitas.[49] Untuk menyusun suatu penilaian yang seimbang terkait tanggung jawab moral orang yang melakukannya dan untuk melakukan bimbingan pastoral, perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti emosi yang belum dewasa, kekuatan dari kebiasaan masa lalu, kondisi kecemasan atau juga faktor-faktor psikis maupun sosial lain, yang dapat mengurangi tanggung jawab moril bahkan ke tingkatan paling minim.[50]

Menurut Richard A. Spinello, Paus Yohanes Paulus II tidak mengatakan bahwa masturbasi adalah selalu amoral karena "tindakan fisik itu sendiri adalah salah dan berlawanan dengan keteraturan". Ia tidak melihat tindakan fisik sebagai satu-satunya dasar untuk penilaian moral. Dalam ensiklik Veritatis splendor, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa "moralitas tindakan manusia" dinilai dengan mempertimbangkan apa yang dipilih seseorang secara rasional berdasarkan "kehendak yang disengaja", dan berdasarkan tujuan yang mengiringinya. Dalam ensikliknya, ia menulis: "Agar dapat memahami objek suatu tindakan yang mengidentifikasi tindakan itu secara moril, perlulah menempatkan diri sendiri dalam perspektif orang yang melakukannya."[51] Masturbasi belum tentu mendatangkan dosa yang serius, atau dosa berat, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa masturbasi bukanlah "materi serius" ataupun "sama sekali salah".[52] Joseph Farraher berkesimpulan bahwa masturbasi mendatangkan dosa ringan dalam kasus "tindakan itu dilakukan dengan hanya kesadaran parsial atau hanya pilihan parsial kehendak", atau, dalam kata-kata Harvey, "tidak ada dosa yang serius ... saat tidak dalam keadaan sadar, seperti ketika seseorang setengah terjaga, atau setengah tertidur, atau juga ketika seseorang hanyut dalam hasrat tiba-tiba dan mendapati dirinya melakukan perbuatan itu meski kehendaknya melawan".[53]

Dalam upayanya menjelaskan Teologi Tubuh dari Paus Yohanes Paulus II, Anthony Percy menuliskan dalam bukunya bahwa "pornografi dan masturbasi merupakan penghancuran makna simbolis dan nupsial dari tubuh manusia. ... Allah memberikan energi erotis kepada semua laki-laki dan perempuan. Kita menyebutnya gairah seks. Hal ini baik serta merupakan bagian dari daya tarik antara laki-laki dan perempuan, yang dengan sendirinya membentuk bagian dari makna nupsial tubuh. Oleh karenanya, energi seksual perlu menemukan penyalurannya dalam kasih, bukan nafsu. ... Dalam masturbasi, energi erotis itu dihidupkan pada diri sendiri. ... Dengan demikian, masturbasi merupakan suatu simbol kesendirian, bukan kasih."[54] Jeffrey Tranzillo menambahkan dengan penjelasannya: "Setiap kali laki-laki dan perempuan memanfaatkan tubuhnya untuk menyimulasikan kasih ataupun autentisitas untuk alasan-alasan yang akhirnya melayani diri sendiri dan karenanya merusak diri sendiri maupun orang lain, mereka memalsukan bahasa tubuh yang diciptakan untuk berbicara. Itulah yang mendasari dosa perzinaan." Ia mengatakan bahwa "penyalahgunaan tubuh semacam itu juga mendasari dosa-dosa seksual lain seperti kontrasepsi, masturbasi, percabulan, dan tindakan-tindakan homoseksual".[55]

Protestanisme sunting

Menurut Brian F. Linnane, "sampai abad ke-20, norma-norma moral yang sesungguhnya dalam hal perilaku seksual adalah sama bagi kalangan Protestan maupun Katolik Roma, kendati justifikasi atas norma-norma ini mungkin, ..., cukup berbeda. ... Bagi kedua kelompok tersebut, ungkapan seksual terbatas pada perkawinan seumur hidup, monogami, heteroseksual. Seks pranikah, perzinaan, hubungan homoseksual, masturbasi, dan penggunaan alat pengendalian kelahiran, semuanya dilarang oleh gereja-gereja Kristen".[56] Adrian Thatcher mengatakan bahwa kalangan Protestan secara historis memandang masturbasi sebagai suatu dosa, walaupun mereka "merujuk langsung pada Alkitab bilamana memungkinkan".[57]

Para reformis Protestan seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin mengutuk masturbasi dalam karya-karya tulis mereka.[58] Dengan mengacu pada pelanggaran Onan untuk mengidentifikasi bahwa masturbasi adalah dosa, dalam Komentar tentang Kitab Kejadian karyanya, Calvin mengajarkan bahwa "menumpahkan semen secara sengaja di luar persetubuhan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah suatu hal yang mengerikan. Dengan sengaja menarik [penis] dalam hubungan seks supaya semen tersebut [terbuang] adalah dua kali lipat mengerikannya."[57][59] Luther melihat masturbasi sebagai suatu dosa yang lebih mengerikan daripada pemerkosaan heteroseksual karena tindakan perkosaan tersebut masih dipandang "selaras dengan kodrat", sedangkan masturbasi adalah tidak wajar atau tidak selaras dengan kodrat manusia.[60] Ia juga memandang masturbasi dan coitus interruptus sebagai tindakan-tindakan yang setara dengan membunuh anak-anak sebelum mereka berkesempatan untuk dilahirkan; oleh karena itu, baginya, masturbasi pada dasarnya sama dengan aborsi.[61] Luther berpendapat bahwa tindakan perkawinan adalah suatu cara untuk menghindari dosa masturbasi: "Kodrat tidak pernah surut ... kita semua digerakkan menuju dosa tersembunyi tersebut. Kasarnya, tetapi sejujurnya, apabila [semen] tidak masuk ke dalam seorang perempuan, [semen] masuk ke bajumu."[62]

John Wesley, pendiri Methodisme, memegang suatu pandangan yang serupa seperti Calvin. Menurut Bryan C. Hodge, Wesley meyakini bahwa "setiap penyia-nyiaan semen dalam suatu tindakan seksual yang non produktif, entah dalam bentuk masturbasi atau coitus interruptus, seperti dalam kasus Onan, menghancurkan jiwa-jiwa dari individu-individu yang mempraktikkannya".[63] Wesley memandang masturbasi sebagai suatu cara yang tidak dapat diterima untuk melepaskan "ketegangan seksual". Sebagaimana orang-orang pada zamannya, ia meyakini bahwa banyak orang telah menderita sakit parah yang bahkan menyebabkan kematian karena "masturbasi habitual".[64] Ia berpendapat bahwa "gangguan kecemasan, bahkan kegilaan, bisa disebabkan oleh bentuk lain kelebihan luapan badani – masturbasi."[65] Ia menuliskan Pemikiran tentang Dosa Onan (1767), yang dipublikasikan ulang dengan judul Sepatah Kata untuk Yang Berkepentingan pada tahun 1779, sebagai suatu upaya untuk menyensor sebuah karya tulis Samuel-Auguste Tissot.[66] Dalam karyanya itu, Wesley memperingatkan akan "bahaya-bahaya kecemaran diri", yakni dampak-dampak buruk masturbasi secara fisik dan mental,[65][66] menulis banyak kasus demikian bersama dengan rekomendasi-rekomendasi penanganannya.[64]

Islam sunting

Dalam Islam, masturbasi (bahasa Arab: استمناء, translit. istimnā’) dilarang, menurut pendapat mayoritas ulama. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an:

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, Kecuali terhadap istri-istri atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Kalau seseorang melakukan masturbasi, maka puasanya batal. Jika seseorang tidak dapat menikah, maka dianjurkan untuk berpuasa. Mandi wajib (ghusl) adalah wajib setelah keluarnya air mani apa pun baik melalui hubungan seksual, masturbasi, atau emisi malam hari (mimpi basah).[67]

Yudaisme sunting

Maimonides menyatakan bahwa Tanakh tidak secara eksplisit melarang masturbasi.[68] Menurut tradisi, kisah biblis mengenai Onan ditafsirkan oleh kaum Yahudi sebagai pengeluaran sperma di luar vagina dan kecaman daripadanya,[69] serta menerapkan kisah ini untuk masturbasi,[69] kendati Tanakh tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Onan melakukan masturbasi.[69] Berdasarkan kisah Onan tersebut, Yudaisme tradisional mengutuk masturbasi yang dilakukan oleh kaum pria.[68]

Kitab Imamat membahas suatu kenajisan atau kecemaran ritual yang terkait dengan emisi sperma. Interpretasi kerabian tradisional atas Imamat 15 adalah bahwa hal itu berlaku untuk semua pengeluaran sperma, termasuk pengeluaran sperma karena masturbasi.

Namun, ejakulasi semen hanya menyebabkan satu hari kenajisan yang memerlukan pembasuhan dan pembersihan (15:16-18), terlepas dari apakah tindakan tersebut berlangsung selama persetubuhan (yang sah) atau oleh diri sendiri, (masturbasi) secara sengaja atau juga (emisi nokturnal) secara tidak sengaja.

— Jacob Milgrom, Leviticus 17-22, pp. 1567-1568, apud Robert A. J. Gagnon, "A critique of Jacob Milgrom's views on Leviticus 18:22 and 20:13"

"Milgrom mengakui bahwa para rabi mengutuk masturbasi. ... Namun demikian, 'itu pengundangan mereka, bukan dari Kitab Suci'."[70]

Hinduisme sunting

Mencari kesenangan jasmani hanya dianggap terkutuk bagi mereka yang membaktikan diri pada kesucian. Tidak ada referensi dalam teks agama Hindu yang menunjukkan bahwa masturbasi itu sendiri menodai kemurnian seksual. Bagi mereka yang berdedikasi pada kesucian, dosa ini benar-benar kecil, dan dapat diampuni baik dengan mandi, atau dengan menyembah Matahari, atau dengan berdoa tiga kali.[71][72][73]

Buddhisme sunting

Formulasi etika Buddhis yang paling banyak digunakan adalah Pancasila. Sila-sila ini berupa usaha-usaha pribadi yang dilakukan secara sukarela, bukan instruksi atau amanat ilahiah. Sila ketiga yaitu "melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila".[74] Bagaimanapun, setiap aliran Buddhisme memiliki interpretasi berbeda dalam hal apa saja yang merupakan "perbuatan asusila".

Buddhisme dikemukakan oleh Buddha Gautama sebagai suatu metode yang melaluinya manusia dapat mengakhiri dukkha (penderitaan) dan keluar dari samsara (putaran eksistensi tanpa akhir). Normalnya hal ini memerlukan latihan meditasi serta mengikuti Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan sebagai suatu cara untuk menundukkan gairah-gairah yang, bersama dengan kelima khandha, menyebabkan penderitaan dan kelahiran kembali. Dengan demikian masturbasi (Pali: sukkavissaṭṭhi) dipandang sebagai masalah bagi orang yang ingin mencapai kebebasan. Menurut suatu pengajaran dari Lama Thubten Zopa Rinpoche, adalah penting untuk menahan diri dari "hubungan seksual, termasuk masturbasi, segala tindakan yang menyebabkan orgasme dan sebagainya, karena hal ini mengakibatkan suatu kelahiran kembali."[75] Ia menjelaskan: "Secara umum, tindakan yang merupakan kebalikan dari sila tersebut mendatangkan hasil negatif yang berlawanan, menjauhkan kita dari pencerahan, dan membuat kita lebih lama berada dalam samsara."[75]

Taoisme sunting

Beberapa pengajar dan praktisi pengobatan tradisional Tionghoa, seni bela diri dan meditasi Tao mengatakan bahwa masturbasi dapat menyebabkan penurunan tingkat energi pada pria. Mereka mengatakan bahwa ejakulasi dengan cara ini mengurangi "qi asal" dari dantian, pusat energi yang terletak di perut bagian bawah. Sejumlah pihak berpandangan bahwa seks dengan seorang pasangan tidak menyebabkan hal ini karena keduanya saling mengisi qi masing-masing. Oleh karena itu beberapa praktisi mengatakan bahwa kaum pria seharusnya tidak berlatih seni beli diri dalam jangka waktu 48 jam setelah masturbasi, kendati yang lainnya mensyaratkan hingga 6 bulan, karena hilangnya Qi Asal tidak memungkinkan qi baru diciptakan dalam kurun waktu tersebut.[butuh rujukan]

Beberapa Taois sangat tidak menganjurkan masturbasi pada kaum wanita. Kaum wanita didorong untuk mempraktikkan teknik-teknik memijat pada diri mereka sendiri, tetapi juga diminta untuk menghindari berpikir tentang hal-hal seksual jika mengalami suatu perasaan senang. Jika tidak maka "labia akan terbuka lebar dan sekresi seksual akan mengalir". Apabila hal ini terjadi, wanita tersebut akan kehilangan bagian dari daya kehidupannya, dan ini dapat menyebabkan penyakit maupun hidup yang lebih singkat.[76]

Wicca sunting

Agama Neopagan Wicca, sebagaimana agama-agama lain, memiliki penganut-penganut dengan suatu spektrum pandangan yang berkisar dari konservatif hingga liberal. Wicca umumnya tidak dogmatis, dan tidak ada dalam filsafat Wicca yang melarang masturbasi. Sebaliknya, etika Wicca, yang terangkum dalam Rede Wicca "Selama tidak membahayakan seorang pun, lakukan apa yang kamu kehendaki", ditafsirkan oleh banyak pihak sebagai dukungan atas segala jenis aktivitas seksual yang bertanggung jawab. Hal ini diteguhkan dalam Tuntutan Sang Dewi, suatu bagian penting dalam literatur Wicca, yang di dalamnya Sang Dewi mengatakan bahwa "semua tindakan cinta dan kesenangan adalah ritual-ritualku".[77]

Lihat pula sunting

Referensi sunting

Pranala luar sunting

  • (Inggris) Farraher, Joseph James; Friedrichsen, Timothy; Fitzgibbons, Richard P. (2013), "Masturbation", dalam Fastiggi, Robert L., et.al., New Catholic Encyclopedia Supplement 2012-2013: Ethics and Philosophy, Retrieved from Catholic Education Resource Center, Detroit: Gale, ISBN 9781414482255 
  • (Inggris) Numbers, Ronald L, "Sex, Science, and Salvation: The Sexual Advice of Ellen G. White and John Harvey Kellogg," in Right Living: An Anglo-American Tradition of Self-Help Medicine and Hygiene ed. Charles Rosenberg, 2003.
  • (Inggris) Wile, Douglas. The Art of the Bedchamber: The Chinese Sexual Yoga Classics including Women's Solo Meditation Texts. Albany: State University of New York, 1992.