Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, dan pembangkangan sipil di Indonesia pada bulan Mei 1998. Peristiwa ini terutama terjadi di kota Medan, Jakarta, Bandung dan Surakarta, dengan insiden-insiden kecil di wilayah lain di Indonesia.
Kerusuhan Mei 1998 | ||||
---|---|---|---|---|
Bagian dari Kejatuhan Soeharto, Krisis finansial Asia 1997 dan Sentimen anti-Tionghoa di Indonesia | ||||
Tanggal | 4–8 dan 12–15 Mei 1998 | |||
Lokasi | Kerusuhan besar terjadi di Medan, Jakarta, dan Surakarta dengan sejumlah insiden terpisah di tempat lain | |||
Sebab |
| |||
Metode | ||||
Hasil |
| |||
Pihak terlibat | ||||
| ||||
Jumlah korban | ||||
Korban jiwa | 1.308 | |||
Terluka | 91 |
Kerusuhan tersebut dipicu oleh korupsi, masalah ekonomi, termasuk kekurangan pangan dan pengangguran massal. Kerusuhan ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Target utama dari kerusuhan tersebut adalah etnis Tionghoa Indonesia, namun sebagian besar korban jiwa disebabkan oleh kebakaran besar dan terjadi di antara para penjarah.[1][2][3][4][5][6]
Diperkirakan lebih dari seribu orang tewas dalam kerusuhan tersebut.[7][8] Sedikitnya 168 kasus pemerkosaan dilaporkan, dan kerusakan material bernilai lebih dari Rp3,1 triliun (US$260 juta). Pada tahun 2010, proses hukum atas kerusuhan tersebut terhenti dan belum selesai.[9]
Kerusuhan
suntingPada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amukan massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa.[10] Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan, dan Surakarta. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.[11]
Amukan massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa. Beberapa dari mereka tidak ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik pribumi. Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.[12]
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.[11]
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.
Korban
suntingTim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) jumlah korban jiwa akibat kerusuhan 1998 mencapai 1.308 jiwa. TGPF merinci jumlah korban, yang terdiri atas korban tewas, korban luka, dan korban kekerasan seksual.[13]
TGPF menemukan variasi data jumlah korban meninggal dan luka-luka. Pertama, data dari tim relawan yang diperoleh dari berbagai sumber menyatakan terdapat 1.308 korban dalam kerusuhan ini. Korban meninggal sebanyak 1.217 orang dengan rincian meninggal karena senjata sebanyak 1.190 orang dan dibakar sebanyak 564 orang. Sementara itu, korban yang luka-luka sebanyak 91 orang.[14]
Mereka yang meninggal karena senjata termasuk empat korban Tragedi Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998. Pembakaran Plaza Sentral Klender dianggap sebagai salah satu peristiwa yang paling banyak memakan korban jiwa dalam kerusuhan tersebut, hingga mencapai 288-488 tewas terbakar secara hidup-hidup.[15]
Pengusutan dan penyelidikan
suntingTidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan TGPF" [11]
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatar belakang militer.[16] Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangab saat itu (Wiranto) dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini.[17][18][19]
Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.[20]
Penuntutan Amendemen KUHP
suntingPada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan amendemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998) mengalami pemerkosaan anal, oral, dan/atau disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.[21]
Dalam budaya populer
suntingDrama dan karya fiksi lainnya banyak ditulis sebagai respons terhadap kerusuhan 1998, khususnya yang berkaitan dengan aspek rasial dan pemerkosaan terhadap perempuan Orang Tionghoa Indonesia. Ini termasuk Putri Cina (Bahasa Inggris: Chinese Princess), oleh pendeta Katolik Indonesia dan penulis Sindhunata, yang membahas tentang hilangnya identitas yang dialami oleh Orang Tionghoa Indonesia setelah kerusuhan dan sebagian ditulis dari sudut pandang korban pemerkosaan.
Film dan televisi
sunting- Di Balik 98 (2015) - Film drama Indonesia berdasarkan peristiwa kerusuhan 1998, dibintangi oleh Chelsea Islan dan Boy William
- May (2008) - Film drama Indonesia, bercerita mengenai sepasang kekasih Antares (Yama Carlos) dan May (Jenny Chang) yang berbeda suku, tetapi harus terpisah karena peristiwa kerusuhan 1998
- 9808 Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia (2008) - Film Dokumenter-Antologi Indonesia, berdasarkan peristiwa kerusuhan 1998
Lihat pula
suntingRujukan
sunting- ^ van Klinken, Gerry (25 September 1999). "Inside Indonesia - Digest 86 - Towards a mapping of 'at risk' groups in Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 September 2000. Diakses tanggal 17 June 2015.
- ^ van Klinken, Gerry (29 May 1998). "The May Riot". [INDONESIA-L] DIGEST. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 July 2015. Diakses tanggal 17 June 2015.
- ^ "ASIET NetNews Number 20 - June 1-7, 1998". Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 February 2015. Diakses tanggal 17 June 2015.
- ^ Horowitz, Donald L. (25 March 2013). Constitutional Change and Democracy in Indonesia. Cambridge University Press. ISBN 9781107355248. Diakses tanggal 17 June 2015.
- ^ Collins 2002 Diarsipkan 13 February 2015 di Wayback Machine., p. 597.
- ^ Chinoy, Mike (16 May 1998). "CNN - Hundreds dead from Indonesian unrest". CNN. Diakses tanggal 17 June 2015.
- ^ Friend, Theodore (2003). Indonesian Destines. Belknap Press of Harvard University Press. hlm. 532. ISBN 0-674-01834-6.
- ^ Hannigan, Tim (2015). A Brief History of Indonesia. Tuttle Publishing. ISBN 978-0804844765.
- ^ Osman, Nurfika; Haryanto, Ulma (14 May 2010). "Still No Answers, or Peace, for Many Rape Victims". Jakarta Globe. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 September 2010.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-07-20. Diakses tanggal 2009-06-26.
- ^ a b c Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998 Diarsipkan 2006-06-30 di Wayback Machine., Situs SemanggiPeduli.com, 23 Oktober 1998. Diakses pada 15 Mei 2010.
- ^ "kristallnacht". history. 23 maret 2021. Diakses tanggal 22 mei 2021.
- ^ "Berapa Korban Kerusuhan Mei 1998?". Kompas.com. Diakses tanggal 3 Agustus 2024.
- ^ Lengser keprabon
- ^ Plaza Yogya Klender, Situs Ingatan Tragedi Mei 1998
- ^ Ester Indahyani Jusuf, dkk. KERUSUHAN MEI 1998 – FAKTA, DATA&Analisis. 2005. Jakarta. Kerjasama Solidaritas Nusa Bangda, APHI, dan TIFA.
- ^ Femi Adi Soempeno& AA Kunto A. PERANG PANGLIMA – SIAPA MENGKHIANATI SIAPA?. 2009. GALANG PRESS, Yogyakarta.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-27. Diakses tanggal 2009-06-26.
- ^ Meicky Shoreamanis Panggabean. 2008. KEBERANIAN BERNAMA MUNIR-Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir. Bandung: Mizan
- ^ Komnas HAM Pertanyakan Kasus Mei 1998 Diarsipkan 2005-05-09 di Wayback Machine.. Tempo Interaktif, 1 Maret 2004. Diakses pada 15 Mei 2010.
- ^ Tempo Interaktif Diarsipkan 2010-07-06 di Wayback Machine., Perempuan Korban Mei 1998 Butuh Amandeman KUHP
Pranala luar
sunting- (Indonesia) Sejarah Reformasi - Semanggi Peduli Diarsipkan 2005-11-25 di Wayback Machine.
- (Indonesia) "Komnas HAM Pertanyakan Kasus Mei 1998" Diarsipkan 2005-05-09 di Wayback Machine., Tempo Interaktif
- (Indonesia) Sejarah Reformasi - Harga Yang Harus Dibayar Etnis Tionghoa di Indonesia