Label rekaman
Konten dan perspektif penulisan artikel ini tidak menggambarkan wawasan global pada subjeknya. |
Label rekaman adalah cap dagang atau merek dagang yang disematkan pada rekaman musik dan video musik, serta perusahaan yang memproduksi, mengelola, mengoordinasi, mendistribusikan, memasarkan, mempromosikan produk-produk tersebut, juga menegakkan hak cipta dan mengelola kontrak dengan artis dan manajernya. Istilah "label" merujuk pada label yang ditempelkan pada bagian tengah fonogram yang biasanya memuat judul lagu, artis, peringatan hak cipta, atau informasi lainnya yang ada dalam fonogram tersebut.[1] Sebagai bagian dari industri musik arus utama, artis sudah banyak memanfaatkan label rekaman untuk menjangkau pasar pendengar yang lebih luas baik di radio, televisi, dan media mengalir. Label rekaman juga menawarkan kehumasan yang akan membantu para penampil untuk mendapatkan liputan media yang positif, serta mengatur ketersediaan produk-produk mereka melalui toko kaset dan media lainnya
Major vs. indie
suntingLabel dapat berupa label kecil, lokal, dan independen ("indie"), atau menjadi bagian dari kelompok media besar, atau di antara keduanya. Association of Independent Music (AIM) menyebut major label (label rekaman mayor) sebagai "perusahaan multinasional (atau anak-anak usahanya) yang memiliki pangsa pasar dunia lebih dari 5% dalam penjualan rekaman dan/atau video musik." Per 2012, ada tiga label rekaman yang memenuhi kriteria sebagai major label: Universal Music Group, Sony Music Entertainment, dan Warner Music Group. Pada 2014, AIM memperkirakan pangsa pasar global kolektif label-label tersebut sekitar 65–70%.[2]
Label rekaman mayor internasional
suntingSekarang
suntingNama label | Didirikan | Kantor pusat | Anak usaha | Pangsa pasar AS/Kanada (2019) |
---|---|---|---|---|
Universal Music Group (Templat:EuronextAmsterdam) | September 1934 | Hilversum, Holland Utara, Belanda (korporat) Santa Monica, California, Amerika Serikat (operasi) | Daftar label Universal Music Group | 54,5% |
Sony Music | 9 September 1929 | New York City, New York, Amerika Serikat | Daftar label Sony Music | 23,4% |
Warner Music Group (Nasdaq: WMG) | 6 April 1958 | New York City, New York, Amerika Serikat | Daftar label Warner Music Group | 12,1% |
Mantan label
suntingLabel rekaman mayor internasional umumnya berada di bawah naungan perusahaan yang biasanya disebut dengan istilah "kelompok usaha musik (music group)". Kelompok ini kebanyakan menginduk kepada sebuah perusahaan konglomerat yang juga memiliki unit usaha nonmusik. Kelompok usaha akan mengontrol dan terdiri dari perusahaan penerbitan musik, pabrik materi rekaman, distributor, dan label rekaman. Perusahaan-perusahaan ini juga membentuk sebuah "kelompok usaha rekaman", yang gilirannya dikendalikan oleh kelompok usaha musik. Perusahaan dalam kelompok usaha ini biasanya dipasarkan dengan istilah "divisi" dari kelompok tersebut.
Sejak 1988 hingga 1998, ada enam major label yang disebut "Big Six":[3]
- Warner Music Group
- EMI
- Sony Music (dikenal sebagai CBS Records hingga Januari 1991)
- BMG (dibentuk 1984 sebagai RCA/Ariola International)
- Universal Music Group (dikenal sebagai MCA Music hingga 1996)
- PolyGram
PolyGram bergabung dengan Universal Music Group (UMG) tahun 1999, sehingga sisanya menjadi Big Five.
Pada 2004, Sony dan BMG membentuk patungan dengan nama Sony BMG (kelak menjadi Sony Music Entertainment pascamerger 2008); BMG mempertahankan divisi penerbitan musiknya terpisah dari Sony BMG dan kelak menjual BMG Music Publishing kepada UMG. Pada 2007, sisa empat perusahaan—dikenal sebagai Big Four—mengendalikan 70% pangsa pasar musik dunia, dan sekitar 80% pasar musik Amerika Serikat.[4][5]
Pada 2012, EMI bangkrut dan dijual terpisah oleh pemilik modal Citigroup: kebanyakan anak usahanya dijual ke UMG; EMI Music Publishing dijual kepada Sony/ATV Music Publishing; dan akhirnya, Parlophone dan Virgin Classics dijual ke Warner Music Group (WMG) pada Juli 2013.[6] Sisanya dikenal dengan istilah Big Three.
Pada 2020 dan 2021, WMG dan UMG mulai IPO dengan WMG melantai di Bursa Efek Nasdaq dan UMG melantai di Euronext Amsterdam sehingga tersisa Sony Music anak perusahaan penuh dari sebuah konglomerasi internasional (Sony Entertainment milik Sony Group Corporation).
Independen
suntingLabel rekaman dan penerbitan musik yang tidak berada di bawah label rekaman mayor dianggap sebagai label independen (indie), bahkan jika label tersebut berbadan hukum Perseroan Terbatas dengan struktur yang cukup rumit. Istilah label indie banyak digunakan untuk merujuk sebuah label independen yang memenuhi kriteria independensi berkaitan dengan struktur, ukuran, dan wilayah distribusinya, dan sejumlah orang mempertimbangkan istilah ini untuk merujuk setiap label yang merilis musik di luar arus utama, tidak bergantung struktur korporatnya.
Label independen relatif lebih ramah dengan artis. Meski manajemennya sederhana, label indie banyak menawarkan royalti dengan kesepakatan 50-50, meski tak begitu umum.[7] Label independen banyak yang dimiliki oleh artis (walaupun tidak semua), banyak dibentuk untuk mengontrol kualitas luaran artis. Label independen banyak yang tidak menikmati sumber daya yang tersedia dari label rekaman mayor, sehingga banyak yang kalah pamor. Namun, artis independen banyak mengelolanya untuk menekan biaya produksi rekaman dari rilis label besar yang khas. Kadang-kadang mereka dapat menutup uang muka awal mereka meski angka penjualannya jauh lebih rendah.
Terkadang seorang artis papan atas pindah ke label independen setelah kontrak mereka selesai. Hal ini dapat memberikan keuntungan gabungan dari pengenalan nama dan kontrol lebih besar atas karya musik bersama dengan porsi keuntungan royalti yang lebih besar. Artis seperti Dolly Parton, Aimee Mann, Prince, Public Enemy, dll., melakukannya. Dalam sejarah, perusahaan yang memulainya sebagai label indie dapat bergabung ke dalam label besar (contohnya label besutan penyanyi Frank Sinatra, Reprise Records, kelak menjadi milik Warner Music Group, dan label milik musisi Herb Alpert, A&M Records, kini milik Universal Music Group). Hampir sama pula, Maverick Records milik Madonna (dibentuk olehnya dan manajernya serta rekan sejawatnya) kini dimiliki Warner Music saat Madonna mendivestasikan sahamnya.
Sejumlah label independen telah sukses sehingga label rekaman mayor menegosiasikan kontrak untuk mendistribusikan musik dari label atau dalam beberapa kasus, membeli label sepenuhnya, sampai pada saat label tersebut menjadi imprint atau sublabel.
Imprint
suntingLabel yang digunakan sebagai cap dagang dan bukan perusahaan disebut sebagai imprint, mirip dengan penerbitan buku. Imprint seringkali dipasarkan sebagai "proyek", "unit", atau "divisi" label, meski tidak ada badan hukum terstruktur yang berkait dengan imprint tersebut. Perusahaan rekaman dapat menggunakan imprint untuk genre tertentu seperti jazz, blues, country, atau indie rock.
Sublabel
suntingPara kolektor rekaman musik sering menggunakan kata sublabel untuk merujuk suatu imprint atau cabang-cabang bawahannya. Contohnya, pada 1980- hingga 1990-an, "4th & B'way" adalah merek dagang milik Island Records Ltd. di Inggris dan cabang bawahannya, Island Records, Inc., di Amerika Serikat. Bagian tengah dari fonogram berlabel 4th & Broadway yang dipasarkan di AS umumnya menampilkan logo 4th & B'way logo dan cetakan berbunyi, "4th & B'way™, an Island Records, Inc.company". Para kolektor yang membahas label sebagai merek akan berkata bahwa 4th & B'way adalah sublabel atau imprint dari "Island" atau "Island Records". Mirip pula, kolektor yang menyetarakan perusahaan dan merek juga berkata bahwa 4th & B'way adalah imprint dan/atau sublabel dari Island Records, Ltd. dan anak labelnya Island Records, Inc. Namun, pengertian ini menjadi kompleks kala perusahaan mengalami merger yang terjadi pada 1989 (saat Island dijual ke PolyGram) dan 1998 (saat PolyGram bergabung dengan Universal). Island masih terdaftar sebagai badan hukum di AS dan Inggris, tetapi mengontrol mereknya yang berpindah tangan saat perusahaan baru terbentuk, sehingga mengurangi perbedaan perusahaan sebagai "induk" dari setiap sublabel.
Label vanitas
suntingLabel vanitas memuat imprint jejak yang memberikan kesan ada kepemilikan dan/atau kontrol oleh artis, tetapi sebenarnya mewakili hubungan yang sudah umum antara artis/label. Dalam pengaturan seperti itu, artis tidak akan mengontrol apa pun selain penggunaan nama pada label, tetapi dapat menikmati kebanggaan dalam pengemasannya. Misalnya, adalah label Neutron yang dimiliki oleh ABC saat di Phonogram Inc. Britania Raya. Pada suatu masa artis Lizzie Tear (di bawah kontrak dengan ABC sendiri) muncul di imprint, tetapi dikhususkan sepenuhnya untuk persembahan ABC dan masih digunakan untuk rilis ulang mereka (meskipun Phonogram memiliki master rekaman yang dikeluarkan pada label).
Namun, tidak semua label yang didedikasikan untuk artis tertentu benar-benar sukses. Banyak artis, di awal karier mereka, mendirikan label mereka sendiri yang kemudian dibeli oleh perusahaan besar. Jika ini persoalannya, terkadang dapat memberi artis keleluasaan yang lebih besar daripada jika mereka masuk langsung ke label besar. Ada banyak contoh label semacam ini, seperti Nothing Records, milik Trent Reznor anggota Nine Inch Nails; dan Morning Records, milik Cooper Temple Clause, yang sempat merilis EP selama beberapa tahun sebelum dibeli RCA.
Keterkaitan dengan artis
suntingLabel memiliki hak eksklusif untuk melakukan kontrak rekaman dengan artis untuk memasarkan rekaman dengan imbalan royalti atas harga jual. Kontrak dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu, dan dapat saja merujuk pada rekaman tertentu. Artis papan atas cenderung dapat menegosiasikan ulang kontrak mereka untuk mendapatkan persyaratan yang lebih menguntungkan bagi mereka, tetapi perseteruan antara Prince terhadap Warner Bros. Records 1994–1996 memberikan contoh tandingan,[8] menurut klaim Roger McGuinn, dibuat pada Juli 2000 di hadapan komite Senat AS, bahwa The Byrds tak pernah menerima royalti yang dijanjikan untuk hits mereka, "Mr. Tambourine Man" dan "Turn! Turn!, Turn!".[9]
Kontrak tersebut adalah hak bagi artis untuk mengirimkan rekaman yang telah selesai ke label, atau hak bagi label untuk melakukan rekaman dengan artis. Untuk artis yang baru naik daun, label dapat terlibat dalam pemilihan produser, studio rekaman, musisi tambahan, dan lagu yang akan direkam, dan mungkin mengawasi hasil sesi rekaman. Untuk artis papan atas, label biasanya tak begitu terlibat dalam proses rekaman.
Hubungan antara label rekaman dan artis bisa jadi runyam. Banyak artis memiliki konflik dengan label mereka mengenai gaya bermusik atau lagu yang ingin mereka buat, sehingga menyebabkan karya seni artis atau judul diubah sebelum dirilis.[10] Artis juga dapat memiliki karya yang ditolak untuk rilis, atau disimpan.[11] Umumnya label melakukan ini karena mereka yakin album akan terjual lebih baik jika artisnya memenuhi permintaan atau perubahan yang diinginkan. Kadang-kadang, keputusan label rekaman adalah keputusan yang bijaksana dari sudut pandang komersial, tetapi keputusan ini dapat membuat frustrasi seniman yang merasa bahwa karya seni mereka diremehkan atau disalahartikan oleh tindakan semacam itu.
Dalam kasus lain, label rekaman dapat menyimpan album artis tanpa maksud untuk mempromosikan artis yang bersangkutan.[12][13] Alasannya, label dapat memberi kesempatan untuk memfokuskan sumber dayanya pada artis lain di daftarnya,[11] atau sedang menjalani restrukturisasi saat ada orang yang menandatangani artis dan mendukung visi artis tidak lagi hadir untuk mengarahkan artis.[11][14] Dalam kasus yang ekstrem, label rekaman dapat menolak rilisan musik artis selama bertahun-tahun, atau menolak untuk melepaskan artis dari kontraknya.[14][15] Artis yang memiliki perselisihan dengan label terkait kepemilikan dan kontrol atas musik mereka seperti Taylor Swift,[16] Tinashe,[17] Megan Thee Stallion,[18] Kelly Clarkson,[19] Thirty Seconds to Mars,[20] Clipse,[21] Ciara,[22] JoJo,[15] Michelle Branch,[23] Kesha,[24] Kanye West,[25] Lupe Fiasco,[26] Paul McCartney,[27] dan Johnny Cash.[28]
Pada masa awal lahirnya industri musik, label rekaman mutlak perlu untuk mendukung kesuksesan artis.[29] Oleh karena itu, grup-grup musik atau artis berlomba-lomba kontrak sesegera mungkin. Pada 1940-, 1950-, dan 1960-an, banyak artis yang menyerah untuk mendapatkan kontrak dengan perusahaan rekaman sehingga terkadang mereka akhirnya menandatangani perjanjian penjualan rekaman mereka ke label rekaman untuk selama-lamanya. Pengacara hiburan banyak menjadi klien dari artis untuk membahas persyaratan kontrak.
Dengan bertumbuhnya teknologi seperti Internet, peranan label menjadi berubah, mengingat artis dapat mendistribusikan materi rekamannya pada radio daring, berbagi berkas peer-to-peer seperti BitTorrent, dll., dalam biaya kecil atau tanpa sama sekali, tetapi rendah pengembalian modal. Artis papan atas semacam Nine Inch Nails, yang kariernya berkembang dengan label besar, mengumumkan akhir kontrak mereka, menyatakan bahwa sifat industri rekaman yang tidak kooperatif dengan tren baru ini merugikan musisi, penggemar, dan industri secara keseluruhan.[30] Namun, Nine Inch Nails kembali lagi ke label besar,[31] mengingat mereka membutuhkan pemasaran dan promosi internasional yang dapat dilayani oleh label besar. Radiohead juga menyatakan motivasinya yang mirip terkait akhir kontraknya dengan EMI saat album mereka In Rainbows dirilis sebagai "bayar sesukamu" dalam unduhan daring, tetapi mereka memilih kembali ke label untuk alasan konvensional.[32] Penelitian menunjukkan bahwa label masih mengontrol banyak akses untuk distribusi.[33]
Strategi baru
suntingKomputer dan teknologi internet menyebabkan peningkatan lalu lintas pembagian berkas dan direct to fan sehingga menyebabkan penjualan musik menurun dalam beberapa tahun terakhir.[34] Label dan organisasi berupaya mengubah strateginya dan cara bekerjanya dengan artis. Cara baru kesepakatan tersebut sering disebut "Kesepakatan 360".[35][36] Jenis perjanjian ini menyediakan label hak dan persentase untuk menyelenggarakan tur konser, menjual cenderamata, dan sokongan. Sebagai imbalannya, label dapat membayar uang muka yang lebih tinggi kepada artis, sabar dengan pengembangan artis, dan membayar persentase penjualan CD yang lebih tinggi. Kesepakatan 360 ini cukup efektif untuk artis papan atas dengan basis penggemar yang setia. Oleh karena itu, label sekarang harus lebih santai dengan perkembangan artis karena umur panjang adalah kunci dari perjanjian semacam ini. Beberapa artis seperti Paramore,[37] Maino, dan juga Madonna[38][39] sudah mencoba perjanjian ini
Tinjauan terhadap penawaran 360 oleh Atlantic Records untuk seorang artis menunjukkan variasi strukturnya. Dalam dokumen yang dibuatnya, Atlantic menawarkan uang muka untuk menandatangani artis, yang kelak akan menerima royalti penjualan setelah perolehan biaya. Begitu album pertama artis dirilis, bagaimanapun, label dapat memilih membayar tambahan $200.000 sebagai ganti 30 persen dari pendapatan bersih dari semua tur, cenderamata, sokongan, dan biaya keanggotaan klub penggemar. Atlantic dapat berhak menyetujui jadwal tur artis tersebut, gaji karyawan tur, serta penjualan cenderamata tertentu yang dikontrak oleh artis tersebut. Selain itu, label juga menawarkan artis potongan 30% keuntungan album label—jika ada—sehingga royalti dapat meningkat dari biasanya sebesar 15%.[37]
Label digital
suntingDengan bertumbuhnya internet sebagai sarana menikmati karya musik, netlabel muncul. Bergantung tujuan netlabel tersebut, berkas musik dari artis dapat diunduh gratis atau berbayar lewat PayPal atau sistem pembayaran digital lainnya. Sejumlah label juga menawarkan salinan keras CD sebagai tambahannya. Label digital dianggap sebagai versi baru dari netlabel. Meski netlabel banyak yang memulainya sebagai situs web gratisan, label digital menampilkan persaingan yang cukup ketat terhadap label besar.[40]
Label sumber terbuka
suntingAbad baru menjadi tonggak awal lahirnya label-label rekaman sumber terbuka atau konten terbuka. Mereka terinspirasi dari gerakan perangkat lunak bebas dan sumber terbuka serta kesuksesan Linux.
Penerbit sebagai label
suntingPada pertengahan 2000-an, sejumlah perusahaan penerbitan musik mulai mengalih kelola tugas-tugas label. Penerbitan musik seperti Sony/ATV Music, contohnya, memanfaatkan hubungannya dalam keluarga Sony untuk memproduksi, merekam, mendistribusikan, dan mempromosikan album debut Elliott Yamin menggunakan imprint Sony yang dorman, alih-alih menggunakan kontrak dengan label nyata.[41]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ "label (n.)". Online Etymological Dictionary. Douglas Harper. Diakses tanggal 12 July 2021.
- ^ "Independent Music is now a growing force in the global market". Musicindie.com. 1 February 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 February 2019. Diakses tanggal 20 March 2019.
- ^ "The Rise And Fall Of Major Record Labels". www.arkatechbeatz.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-09. Diakses tanggal 2021-05-05.
- ^ "Copyright Law, Treaties and Advice". Copynot.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 June 2013. Diakses tanggal 14 November 2013.
- ^ Jobs, Steve (6 February 2007). "Thoughts on Music". Apple. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 January 2009.
- ^ Joshua R. Wueller, Mergers of Majors: Applying the Failing Firm Doctrine in the Recorded Music Industry, 7 Brook. J. Corp. Fin. & Com. L. 589, 601–04 (2013).
- ^ McDonald, Heather (20 November 2019). "5 Lessons Big Record Labels Learned From Independents". The Balance.
- ^ Newman, Melinda (28 April 2016). "Inside Prince's Career-Long Battle to Master His Artistic Destiny". Billboard. Diakses tanggal 3 April 2017.
- ^ "CNN Transcript – Special Event: Lars Ulrich, Roger McGuinn Testify Before Senate Judiciary Committee on Downloading Music on the Internet". CNN. 11 July 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 March 2016. Diakses tanggal 29 April 2016.
- ^ Boone, Brian (2020-01-13). "Musicians That Were Forced To Change Their Album Covers". Grunge.com (dalam bahasa Inggris).
- ^ a b c Zafar, Aylin. "What It's Like When A Label Won't Release Your Album". BuzzFeed (dalam bahasa Inggris).
- ^ Jones, Rhian (2021-08-11). "'I had no confidence, no money': the pop stars kept in limbo by major labels". The Guardian (dalam bahasa Inggris).
- ^ "Tinashe's Studio Session Tale Shows How Ruthless The Music Business Is". UPROXX (dalam bahasa Inggris). 2017-01-09.
- ^ a b "What's it like for musicians whose labels won't release their music?". Dazed (dalam bahasa Inggris). 2021-07-07.
- ^ a b "JoJo Spent Nearly a Decade Fighting Her Label and Won. Here's What She Learned, in Her Own Words". Vulture (dalam bahasa Inggris). 2 November 2015.
- ^ Halperin, Shirley (2020-11-16). "Scooter Braun Sells Taylor Swift's Big Machine Masters for Big Payday". Variety (dalam bahasa Inggris).
- ^ Furdyk, Brent (2019-07-19). "Tinashe Reveals She 'Fired' Her Team, Alleges Former Record Label 'Sabotaged' Her". ET Canada (dalam bahasa Inggris).
- ^ "Why Is Megan Thee Stallion Suing Her Record Label?". Pitchfork (dalam bahasa Inggris). 2020-03-06.
- ^ du Lac, J. Freedom (2007-06-26). "'My December': Kelly Clarkson, Striking Out On Her Own". Washington Post (dalam bahasa Inggris). ISSN 0190-8286.
- ^ Kreps, Daniel (2008-08-18). "Virgin/EMI Sue 30 Seconds to Mars for $30 Million, Leto Fights Back". Rolling Stone. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-04.
- ^ Crosley, Hillary (2007-10-29). "The Clipse ends tumultuous tenure at Jive". Reuters (dalam bahasa Inggris).
- ^ "Ciara: 'I pray my label will release me'". The Guardian (dalam bahasa Inggris). 2011-02-16.
- ^ "After Years of Record-Label Limbo, Michelle Branch Can Tell You That She's Happy Now". Paste Magazine (dalam bahasa Inggris). 2017-03-23.
- ^ Lockett, Dee; Gordon, Amanda; Zhan, Jennifer (2021-04-23). "The Complete History of Kesha's Fight Against Dr. Luke". Vulture (dalam bahasa Inggris).
- ^ Jones, Jiggy (2020-09-16). "Kanye West Says Universal Music Group Refuses To Tell Him Cost of Masters". The Source (dalam bahasa Inggris).
- ^ Cowen, Trace William (11 February 2019). "Lupe Fiasco Blasts Atlantic and Lyor Cohen, Calls Music Biz 'Damn Near a Mob Cartel'". Complex (dalam bahasa Inggris).
- ^ Hudson, John (2010-05-18). "Paul McCartney vs. EMI". The Atlantic (dalam bahasa Inggris).
- ^ Park, Andrea (25 February 2016). "Musicians v. record labels: 14 famous feuds". CBS News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-28.
- ^ Bielas, Ilan, "The Rise and Fall of Record Labels" (2013). CMC Senior Theses. Paper 703.
- ^ "Nine inch nails = independent". Sputnikmusic. 8 October 2007. Diakses tanggal 29 April 2016.
- ^ "Trent Reznor on Nine Inch Nails' Columbia Signing: 'I'm Not a Major Label Apologist'". Spin. 19 August 2013. Diakses tanggal 29 April 2016.
- ^ "Radiohead sign 'conventional' record deal". NME. 31 October 2007. Diakses tanggal 29 April 2016.
- ^ Arditi, David (2014). "iTunes: Breaking Barriers and Building Walls" (PDF). Popular Music & Society. 37 (4): 408–424. doi:10.1080/03007766.2013.810849. hdl:10106/27052 .
- ^ Covert, Adrian (25 April 2013). "A decade of iTunes singles killed the music industry". CNN Business. Diakses tanggal 29 April 2016.
- ^ Cole, Tom (2010-11-24). "You Ask, We Answer: What Exactly Is A 360 Deal?". NPR (dalam bahasa Inggris).
- ^ "Behind the music: When artists are held hostage by labels". The Guardian (dalam bahasa Inggris). 2010-04-15.
- ^ a b Leeds, Jeff (2007-11-11). "The New Deal: Band as Brand". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331.
- ^ Moreau, Jordan (2020-08-08). "Madonna Is a Free Agent After Decade-Long Deal With Interscope Records". Variety (dalam bahasa Inggris).
- ^ Adegoke, Yinka (2007-10-11). "Madonna move shows music industry's 360-model". Reuters (dalam bahasa Inggris).
- ^ Suhr, Cecilia (November 2011). "Understanding the Hegemonic Struggle between Mainstream Vs. Independent Forces: The Music Industry and Musicians in the Age of Social Media". International Journal of Technology, Knowledge & Society. 7 (6): 123–136. doi:10.18848/1832-3669/CGP/v07i06/56248.
- ^ Butler, Susan (31 March 2007). "Publisher = Label?". Billboard. hlm. 22.