Kontroversi ras Mesir kuno

Keraguan tentang ras bangsa Mesir kuno diangkat secara historis sebagai produk dari konsep awal tentang rasial pada abad 18 dan 19 serta dikaitkan dengan model hierarki rasial yang didasarkan utamanya pada kraniometri dan antropometri. Beredar berbagai pandangan tentang identitas ras bangsa Mesir dan sumber kebudayaan mereka.[1] Beberapa akademisi berpendapat bahwa kebudayaan Mesir kuno, dipengaruhi oleh populasi yang berbahasa Afroasiatik lainnya di Afrika Utara, Tanduk Afrika atau Timur Tengah, sementara yang lain menunjukkan pengaruh dari berbagai kelompok atau populasi Nubia di Eropa. Beberapa waktu belakangan ini, beberapa penulis meragukan pandangan umum, yang beberapa di antaranya berfokus pada keraguan ras individu tertentu yang terkenal seperti raja yang mewakili Sfinks Agung Giza, firaun asli Mesir Tutankhamun, Ratu Mesir Tiye dan ratu Ptolemaik Yunani, Kleopatra VII.

Para akademisi menolak anggapan bahwa Mesir adalah peradaban kulit putih atau hitam, mereka berpendapat bahwa menerapkan gagasan modern ras hitam atau putih terhadap bangsa Mesir kuno, adalah anakronistik.[2][3][4] Selain itu, para akademisi juga menolak gagasan yang secara implisit dalam pendapat hipotesis Mesir berkulit hitam atau putih, bahwa Mesir Kuno adalah homogen secara rasial, alih-alih variasi warna kulit di antara masyarakat Mesir Hilir, Mesir Hulu dan Nubia, yang memegang tampuk kekuasaan pada era Mesir Kuno di berbagai zaman. Meskipun banyak terdapat invasi-invasi asing dalam sejarah Mesir, demografi tidak berubah secara substansial oleh migrasi besar-besaran.[5][6][7]

Latar belakang sunting

Dalam komentar-komentar tentang ras bangsa Mesir kuno, pada abad ke-18, seorang filsuf dan sejarawan Prancis Constantin-François Chassebœuf, comte de Volney menulis bahwa, "Warna kulit yang sesuai bagi bangsa Mesir kuno adalah ras yang berasal dari golongan Koptik, karena warna kulitnya yang kekuningan....., yang bukan bangsa Yunani, Negro atau Arab dengan wajah yang penuh, mata yang gembung, hidung yang bengkok dan bentuk bibir yang tebal..., bangsa Mesir kuno sebenarnya adalah orang Negro, yakni orang dengan golongan yang sama dengan semua orang asli Afrika".[8] Volney juga mengatakan bahwa Sphinx memberinya kunci teka-teki mengapa semua orang Mesir yang ia lihat di seluruh negeri "memiliki wajah dan mata yang bengkak, hidung pesek, bibir tebal, secara singkat diutarakan, wajah asli mulatto." Ia menulis bahwa ia mencoba untuk mengaitkannya dengan kondisi iklim, tetapi saat mengunjungi Sphinx, penampilannya memberinya jawaban "dengan melihat kepala tersebut, umumnya negro dalam semua tampilannya",[9] Volney melihatnya sebagai "solusi sejati untuk teka-teki (tentang bagaimana orang Mesir modern memiliki penampilan 'mulatto' mereka)". Ia melanjutkan dengan menyimpulkan, "orang Koptik adalah" negro sejati "dari keturunan yang sama dengan semua orang asli Afrika" dan mereka "setelah beberapa abad bercampur ..., pasti telah kehilangan warna aslinya yang sepenuhnya gelap."[10] Arkeolog Jacques Joseph Champollion-Figeac mengkritik Volney dan menyebut kesimpulannya "jelas terlalu dipaksakan dan tidak dapat diterima".[11]

Seorang ilmuwan Prancis terkemuka abad ke-18, Georges Cuvier, menganggap bahwa orang Mesir adalah orang Kaukasia dan Ia sependapat dengan Augustus Granville, yang berpihak pada pembedahan dan otopsi ilmiah mumi Mesir kuno pertama yang dilakukan pada 1825.[12] Contoh awal lain dari kontroversi tersebut adalah sebuah artikel yang diterbitkan oleh majalah The New-England Magazine pada Oktober 1833, ketika para penulisnya membantah klaim bahwa "Herodotus diberikan otoritas atas keberadaan mereka sebagai negro." Mereka menunjukkan dengan mengacu kepada lukisan-lukisan yang terdapat dalam makam: "Dapat diamati bahwa corak laki-laki selalu merah, perempuan kuning; tetapi tidak satu pun dari mereka dapat dikatakan memiliki sesuatu dalam fisiognomi mereka yang mirip dengan wajah Negro." [13]

Pada 1839, Jean-François Champollion mengemukakan pendapatnya bahwa, "di Koptik Mesir, kami tidak menemukan satu pun ciri khas populasi Mesir kuno. Bangsa Koptik adalah hasil dari persilangan dengan seluruh bangsa yang berhasil menguasai Mesir. Adalah sebuah kesalahan untuk mencari ciri-ciri utama ras lama."[14]

Memoar ini dibuat dalam konteks suku pertama yang akan mendiami Mesir, pendapatnya diperhatikan setelah ia kembali dari Nubia. Klaim Champollion dan Volney dibantah oleh Jacques Joseph Champollion-Figeac pada tahun 1839, yang menyalahkan adanya kesalahpahaman orang-orang zaman dahulu, karena menyebarkan kesan yang salah tentang "Negro" Mesir, yang menyatakan "dua ciri-ciri fisik kulit hitam dan rambut yang keriting tidaklah cukup untuk menandakan suatu golongan sebagai ras negro"[10] dan "pendapat bahwa penduduk Mesir kuno termasuk ke dalam ras Negro Afrika, adalah kesalahan yang telah lama diterima sebagai kebenaran,.... Kesimpulan Volney tentang asal usul ras Negro dari peradaban Mesir kuno, terbukti dipaksakan dan tidak dapat diterima."[11]

Seorang ahli Mesir kuno abad ke-19 asal Prancis, Gaston Maspero menyatakan "para sejarawan Yunani kuno, hampir sepakat bahwa orang-orang Mesir Kuno termasuk ke dalam ras Afrika, yang menetap di Ethiopia."[15] Sementara ahli Mesir kuno abad ke-19 lainnya yang berasal dari Jerman, Heinrich Karl Brugsch, menyatakan "menurut etnologi, orang-orang Mesir sepertinya merupakan cabang ketiga dari ras Kaukasia... dan ini dapat dianggap pasti".[16] Kemudian ahli Mesir kuno abad ke-19 asal Inggris, EA Wallis Budge, berpendapat bahwa dalam sejarah Mesir "terdapat banyak hal dalam tata krama, kebiasaan beragama dan kebudayaan orang-orang Mesir yang menunjukkan rumah asli nenek moyang mereka sebenarnya terdapat di sebuah negara di sekitar Uganda dan Negeri Punt".[15]

Perdebatan tentang ras orang-orang Mesir kuno semakin meningkat dalam gerakan untuk menghapus perbudakan di Amerika Serikat pada abad ke-19, karena argumentasi yang berkaitan dengan pembenaran perbudakan, semakin menegaskan inferioritas historis, mental dan fisik orang-orang kulit hitam.[17] Sebagai contoh pada tahun 1851, John Campbell secara langsung meragukan klaim Champollion dan yang lainnya tentang bukti-bukti orang Mesir berkulit hitam, dengan menyatakan "terdapat satu kesulitan besar dan menurut saya kesulitan yang tidak dapat diatasi, yakni para pendukung peradaban negro Mesir tidak berusaha menjelaskan, bagaimana peradaban ini hilang,,.... Mesir berkembang dan mengapa, karena itu [adalah] Kaukasia."[18] Perdapat mengenai ras orang-orang Mesir menjadi lebih eksplisit sehubungan dengan perdebatan tentang perbudakan di Amerika Serikat, karena ketegangan semakin meningkat yang mengarah kepada terjadinya peristiwa Perang Saudara Amerika.[19]

Pada 1854, Josiah C. Nott bersama George Gliddon mengemukakan pembuktian "ras Kaukasia atau kulit putih dan ras Negro, berbeda pada masa yang sangat jauh dan bahwa, bangsa Mesir adalah ras Kaukasia."[20] Seorang dokter dan profesor anatomi, Samuel George Morton menyimpulkan sesungguhnya "Terdapat banyak orang-orang Negro di Mesir, tetapi kedudukan sosial mereka di zaman kuno sama dengan sekarang [di Amerika Serikat], yakni sebagai budak dan pelayan."[21] Pada awal abad ke-20, Flinders Petrie, seorang profesor ahli Mesir kuno dari Universitas London, berbicara tentang "ratu hitam" Ahmose-Nefertari, yang merupakan "leluhur dewa dari dinasti XVIII". Ia menggambarkannya secara fisik: "Ratu Ahmose Nefertari [yang berkulit hitam] memiliki hidung bengkok, panjang dan kurus serta merupakan golongan yang tidak terlalu menonjol".[22] Petrie adalah pendukung teori ras dinasti Mesir kuno. Ia meyakini bahwa "ras induk" penjajah dari timur, (misalnya Mesopotamia) bertanggung jawab atas pemaksaan peradaban terhadap penduduk asli Mesir yang "primitif" dan "sederhana".[23]

Kedudukan akademisi modern sunting

Para akademisi modern yang mempelajari sejarah populasi dan kebudayaan Mesir kuno, telah menanggapi kontroversi terhadap ras bangsa Mesir kuno dengan berbagai cara.

Pada seminar yang diselenggarakan UNESCO di Kairo tahun 1974, dalam "Simposium tentang kedudukan populasi Mesir Kuno dan uraian Naskah Meroitik", seorang antropolog yang bernama Cheikh Anta Diop mengajukan gagasan dan "Hipotesis Hitam" tentang populasi homogen di Mesir, melalui tulisannya yang bertajuk Origins of the Ancient Egyptians. Namun, "Sejumlah keberatan" diajukan atas gagasan yang dikemukakan oleh Diop. Keberatan ini mengungkap banyaknya pertentangan yang menonjol, meskipun hal tersebut tidak disuarakan secara eksplisit. Pertentangan tersebut sebagian besar disebabkan oleh masalah yang terkait metodologis,[24] misalnya data yang tidak cukup memadai "untuk memungkinkan penarikan kesimpulan sementara, sehubungan dengan kedudukan populasi Mesir kuno dan urutan fase-fase yang mungkin telah dilalui".[25]

Seluruh argumentasi dari semua pihak, dicatat dalam sebuah publikasi UNESCO berjudul Sejarah Umum Afrika,[26] dengan bagian bab yang ditulis oleh Cheikh Anta Diop bertajuk Origin of the Egyptians, sebagai pendukung "Hipotesis Hitam".[27] Bagian bab yang ditulis oleh Diop kemudian dicantumkan dalam kesimpulan umum laporan simposium yang dibuat oleh reporter Komite Ilmiah Internasional, Jean Devisse,[28] sebagai "kontribusi yang diteliti dengan susah payah", yang berakibat "kurangnya keseimbangan" dalam diskusi di antara para peserta.[29][30] Dalam konferensi UNESCO tahun 1974, selain Diop dan Obenga, beberapa peserta menyimpulkan bahwa penduduk Mesir Neolitik adalah penduduk asli Sahara yang terdiri dari orang-orang dari wilayah utara dan selatan Sahara yang memiliki warna kulit beragam.[31][32] Mayoritas peserta konferensi tidak sependapat dengan pandangan Diop dan Obenga.[33] Demikian pula, tidak ada peserta yang menyuarakan dukungan untuk postulat sebelumnya bahwa orang Mesir berkulit "putih dengan pigmentasi gelap, bahkan hitam",[34] meskipun Profesor Ghallab menyatakan bahwa "penduduk Mesir pada zaman Paleolitik adalah Kaukasoid".[35]

Selanjutnya, para peninjau dalam debat simposium dan publikasi UNESCO tahun 1974 tersebut, telah menampilkan berbagai pandangan tentang hasil perbincangannya.[36][37][38][39] Menurut Larissa Nordholt, mayoritas peninjau pada saat itu melihat bagian yang ditulis oleh Diop sebagai suatu hal yang mendiskreditkan reputasi publikasi ilmiah, karena adanya "beban pada politik".[40] Larissa Nordholt juga berpendapat bahwa tulisan Diop memiliki motivasi politik, diterbitkan hanya karena sejalan dengan keharusan politik UNESCO, walaupun bertentangan dengan metode sejarah yang dapat diterima dan standar baku akademis.[41] Peter Shinnie yang meninjau Sejarah Umum Afrika, menulis bahwa "tampaknya UNESCO dan Mokhtar (editor) merasa malu dengan pandangan Diop yang tidak masuk akal dan tidak ilmiah, tetapi tidak mampu menolak kontribusinya".[42] Namun, seorang sejarawan asal Kenya dan editor Sejarah Umum Afrika (volume 5) yang diterbitkan UNESCO, Bethwell Allan Ogot menyatakan bahwa "Cheikh Anta Diop merebut peradaban Mesir dari ahli Mesir Kuno dan mengembalikannya ke arus utama sejarah Afrika".[43] Stephen Quirke mengutarakan pendapatnya bahwa konferensi tentang Sejarah Umum Afrika yang disponsori UNESCO pada tahun 1974, "tidak mengubah iklim penelitian Erosentris" dan kebutuhan untuk menggabungkan perpektif akademik pusat studi Afrika dan Eropa. Ia lalu menjelaskan bahwa "konferensi penelitian dan publikasi tentang sejarah dan bahasa Kemet [Mesir] tetap mendominasi, lebih dari 90%, oleh mereka yang dibesarkan dan dilatih dalam masyarakat dan bahasa Eropa, bukan Afrika (termasuk bahasa Arab)".[44]

Seiring dengan kemajuan ilmu genetika populasi manusia, sejak akhir abad ke-20, para antropolog biologi sebagian besar telah menolak gagasan ras sebagai validitas dalam studi biologi manusia.[45][46]

Dalam sebuah tulisan tahun 1989, Frank J. Yurco menguraikan bahwa "Singkatnya, Mesir kuno, seperti Mesir modern, terdiri dari populasi yang sangat heterogen".[47] Kemudian pada 1990, ia juga menulis "Ketika Anda berbicara tentang Mesir, tidak benar untuk berbicara tentang hitam atau putih... Untuk menggunakan terminologi di sini, di Amerika Serikat dan mengaitkannya ke Afrika, secara antropologis tidaklah akurat". Yurco menambahkan bahwa "Kita menerapkan perpecahan rasial ke Mesir yang tidak akan pernah dapat mereka terima, Mereka akan menganggap alasan ini tidak masuk akal dan hal tersebut adalah sesuatu yang benar-benar dapat kita pelajari."[48] Yurco menulis pada tahun 1996 bahwa "orang-orang Mesir, Sudan dan sebagian besar Afrika Timur Laut umumnya dianggap sebagai kontinuitas Nilotik, dengan ciri fisik yang beragam (kulit terang hingga gelap, berbagai jenis rambut dan kraniofasial)".[49]

Pada 1990, Gamal Mokhtar, editor Sejarah Umum Afrika yang diterbitkan UNESCO, menulis bahwa "Kemungkinan besar bahwa strain Afrika hitam atau terang, dominan di Mesir Kuno, tetapi dalam pengetahuan kita saat ini, tak ada yang dapat dikatakan lagi".[50]

Pada 1990, seorang ahli Mesir, Miriam Lichtheim menulis bahwa "Orang Mesir bukanlah orang Nubia dan orang asli Nubia, bukanlah orang yang berkulit hitam. Nubia berangsur-angsur menjadi orang yang berkulit hitam karena orang kulit hitam bermigrasi dari Afrika Tengah menuju utara".[51]

Kemudian pada 1993, Bernard R. Ortiz De Montellano menulis "Klaim atas semua orang Mesir atau bahkan seluruh firaun berkulit hitam, adalah tidak valid. Sebagian besar para akademisi percaya, bahwa orang Mesir pada zaman dahulu adalah sama, sebagaimana yang terlihat pada saat ini, dengan gradasi warna kulit yang lebih gelap ke arah [warna kulit] orang Sudan".[5]

Tahun 1999, Nancy Lovell menulis bahwa studi tentang sisa-sisa kerangka menunjukkan, karakteristik fisik orang Mesir kuno bagian selatan dan Nubia, "dalam rentang variasi" orang-orang Sahara dan Afrika tropis, baik adat kuno maupun modern, serta distribusi karakteristik populasi "tampaknya mengikuti pola klinis dari selatan ke utara" yang dapat dijelaskan melalui seleksi alam serta aliran gen antara populasi yang berdekatan. Lovell menjelaskan "Secara umum, penduduk Mesir Hulu dan Nubia memiliki kedekatan biologis terbesar dengan orang-orang di Sahara dan wilayah yang lebih ke selatan". Ia juga menulis bahwa bukti arkeologis dan prasasti untuk kontak antara Mesir dan Siro-Palestina "menunjukkan bahwa aliran gen antara daerah ini sangat dimungkinkan" dan populasi awal Lembah Nil adalah "bagian dari garis keturunan Afrika, tetapi menunjukkan variasi lokal".[52]

Kemudian pada 2001 Stuart Tyson Smith menulis, "Setiap karakterisasi ras orang Mesir kuno bergantung pada definisi-definisi budaya modern, bukan berdasarkan studi ilmiah. Sehingga menurut standar Amerika modern, layak untuk menggolongkan orang-orang Mesir sebagai [berkulit] 'hitam', sambil mengakui bukti ilmiah untuk keberagaman fisik orang-orang Afrika." Ia melanjutkan: "Praktik Mesir kuno menunjukkan kesamaan yang kuat dengan kebudayaan Afrika modern termasuk menuhankan kerajaan, penggunaan sandaran kepala, seni tubuh, sunat dan ritual laki-laki dewasa, semuanya menunjukkan landasan dasar Afrika atau fondasi peradaban Mesir".[53] Pada 2004, Smith juga menulis "Seni Mesir menggambarkan orang Nubia dengan stereotipe kulit gelap, fitur wajah, gaya rambut dan pakaian, semuanya sangat berbeda dari orang Mesir dan dua kelompok etnis lainnya, [yakni] orang Asiatik dan Libya".[54] Ia juga menambahkan bahwa "tidak ada satu materi pun yang berkorelasi, tidak peduli seberapa banyak yang terwakili, secara jelas mencerminkan afiliasi kelompok etnis".[55]

Sonia Zakrzewski yang mempelajari tentang sampel-sampel kerangka sejak periode Badari hingga periode Kerajaan Pertengahan di Mesir Hulu, menulis pada tahun 2003, bahwa data mentah menunjukkan orang-orang Mesir Kuno pada umumnya memiliki "bentuk tubuh tropis" tetapi proporsi mereka sebenarnya adalah "super-negroid", yakni indeks tungkai yang relatif lebih panjang daripada banyak populasi "Afrika". Ia mengusulkan bahwa perkembangan nyata dari kerangka tubuh Afrika yang semakin meningkat dari waktu ke waktu, dimungkinkan juga karena dalam sampel Kerajaan Pertengahan, terdapat pula sampel para tentara bayaran Nubia. Meskipun, ia mencatat bahwa terlepas dari perbedaan panjang tibia di antara sampel-sampel Badari dan Dinasti Awal, bahwa "seluruh sampel relatif terkelompok dibandingkan dengan populasi lainnya". Zakrzewski menyimpulkan: "hasil harus tetap bersifat sementara, karena sampel yang berukuran relatif kecil dan kurangnya materi kerangka yang melewati setiap periode waktu, dari seluruh kelompok sosial dan ekonomi."[56]

Tahun 2004, Donald B. Redford mencatat, "Gagasan lama tentang gelombang "ras" yang mengalir di Lembah Nil, memengaruhi kemajuan dan perubahan kebudayaan, yang saat ini diketahui sebagai kekeliruan yang sederhana. Ide-ide baru tidak mesti datang melalui invasi: terkadang ide-ide tersebut asli dan mungkin bersamaan dengan penemuan-penemuan serupa di tempat lain yang sama sekali tidak berhubungan."[57]

Catatan Robert Morkot pada 2005 menyatakan, "Orang Mesir kuno bukanlah 'kulit putih' dalam pengertian Eropa, juga bukan 'Kaukasia'... kita dapat mengatakan bahwa populasi awal orang Mesir kuno termasuk orang Afrika dari hulu sungai Nil, orang Afrika dari wilayah Sahara dan Libya modern dan sejumlah kecil orang yang datang dari Asia barat daya dan kemungkinan dari semenanjung Arab."[58]

Pada 2007, Barry J. Kemp mencatat, meskipun dapat dipahami secara politis, argumen hitam/putih adalah penyederhanaan berlebihan yang menghambat evaluasi yang tepat dari data ilmiah tentang orang Mesir kuno, karena tidak mempertimbangkan kesulitan dalam memastikan rupa dari sisa-sisa kerangka. Hal tersebut juga mengabaikan fakta bahwa Afrika didiami oleh banyak populasi lain selain golongan terkait Suku Bantu ("Negroid"). Ia juga menulis bahwa dalam rekonstruksi kehidupan di Mesir kuno, orang Mesir modern akan menjadi perkiraan yang paling logis dan paling dekat dengan orang Mesir kuno. Kemp juga menulis bahwa "... sampel populasi yang ada dari Mesir utara sebelum Dinasti ke-1 (Merimda, Maadi dan Wadi Digla) ternyata berbeda secara signifikan dari sampel populasi yang berasal dari Palestina awal dan Byblos, hal ini menunjukkan kurangnya nenek moyang yang sama dalam jangka waktu yang lama" dan pengukuran-pengukuran antropologis dari panjang tungkai laki-laki orang Mesir kuno, telah mengelompokkan "mereka dengan Afrika, alih-alih orang Eropa".[59]

Pada 2017, Federico Puigdevall dan Albert Cañagueral menulis, "terdapat pihak yang mempertahankan teori bahwa para firaun berkulit hitam dan ada pula pihak yang berpendapat bahwa mereka berasal dari Kaukasia. Tidak ada teori yang dapat dibuktikan".[60]

Marc Van De Mieroop menulis pada tahun 2021: "Beberapa akademisi telah mencoba untuk menentukan seperti apa rupa orang Mesir dengan membandingkan sisa-sisa kerangka dengan populasi masa sekarang ini, tetapi sampelnya sangat terbatas dan interpretasinya penuh dengan ketidakpastian, sehingga hal ini adalah suatu pendekatan yang tidak dapat diandalkan". Ia menyimpulkan bahwa "lokasi Mesir kuno di tepi timur laut Afrika dan secara geografis sebagai koridor antara benua tersebut dan Asia, sehingga terbuka terhadap pengaruh dari segala arah, baik dari segi kebudayaan maupun demografi."[61]

Tahun 2022, S.O.Y Keita menulis tentang asal-usul dan identitas bangsa Mesir Kuno. Ia memeriksa berbagai bentuk bukti yang meliputi arkeologi, linguistik sejarah dan data biologis untuk menentukan afinitas populasinya. Ia menyimpulkan "berbagai disiplin ilmu menunjukkan bahwa landasan Mesir berada di Afrika Timur Laut" dan orang Mesir kuno "adalah orang dan masyarakat yang muncul di wilayah Nilotik-Sahara di Afrika Timur Laut".[62] Keita juga mengkaji studi tentang afinitas biologis penduduk Mesir Kuno melalui tulisannya pada tahun 1993, bahwa penduduk asli Lembah Nil utamanya adalah berbagai penduduk asli Afrika Timur Laut dari daerah Sahara yang mengering dan wilayah yang lebih selatan. Ia juga menambahkan bahwa meskipun masyarakat Mesir menjadi lebih kompleks secara sosial dan beragam secara biologis, "etnisitas asal-usul Nilo-Sahara-Sudan tidaklah berubah".[63]

Pada tahun 2023, William Stiebling dan Susan Helft menulis tentang debat sejarah mengenai ras dan etnis orang-orang Mesir kuno berdasarkan bukti terbaru. Mereka berpendapat bahwa, penampakan fisik akan bervariasi sepanjang kontinum dari Delta ke daerah-daerah sumber Nil di selatan. Para penulis menentukan bahwa "beberapa orang Mesir kuno terlihat lebih Timur Tengah dan yang lain lebih terlihat seperti orang Sudan atau orang-orang Etiopia saat ini dan beberapa bahkan mungkin terlihat seperti golongan lain di Afrika". Para penulis mencapai pandangan bahwa "Mesir adalah peradaban unik dengan ikatan genetik dan budaya yang menghubungkannya dengan kebudayaan Afrika lainnya di selatan dan barat, serta kebudayaan di Mediterania dan Timur Dekat di sebelah utara".[64]

Pandangan akademik terhadap bias dalam studi Mesir/Modern sunting

Para akademisi telah menyoroti peran rasisme kolonial dalam membentuk sikap para ahli sejarah Mesir awal dan mengkritik representasi berlebihan yang terus berlanjut dari pandangan perspektif Amerika Utara dan Eropa di lapangan.[65] Dalam tulisannya yang bertajuk The African Origin of Civilization, Diop berpendapat bahwa pandangan yang umum dalam kajian Mesir kuno, didorong oleh sikap akademisi yang bias dan kolonial.[66][67] Demikian pula, Bruce Trigger menulis bahwa pengetahuan modern awal tentang populasi Lembah Nil, "telah dirusak oleh kekeliruan ras, bahasa dan kebudayaan serta rasisme yang menyertainya".[68]

Tahun 1996, Christopher Ehret menulis bahwa "Peradaban Mesir kuno, pada dasarnya adalah Afrika, dengan cara dan pada tingkat yang umumnya tidak dikenali. Bukti kebudayaan dan bahasa mengungkap akar [yang berasal] dari Afrika ini. Asal-usul etnis Mesir terletak di daerah selatan Mesir".[69]

Kemudian pada tahun 2023, Ehret menceritakan bahwa dua abad sebelumnya, pengetahuan Barat telah menghadirkan Mesir sebagai "cabang dari perkembangan awal Timur Tengah". Ia lalu berpendapat bahwa ide-ide lama telah memengaruhi sikap para akademisi dalam disiplin ilmu lainnya seperti genetika dan pendekatan-pendekatan mereka bahkan ketika terdapat bukti arkeologi, linguistik dan biologi antropologi telah menentukan lokasi pendiri lokal Mesir Kuno, menjadi keturunan populasi lama di Timur Laut Afrika yang meliputi Nubia dan Tanduk Afrika bagian utara.[70]

Pada 2018, Stuart Tyson Smith menulis tentang praktik umum di antara para ahli Mesir Kuno adalah "memisahkan Mesir dari konteks Afrika timur laut yang tepat, alih-alih membingkainya sebagai bagian fundamental dari lingkungan ekonomi, sosial dan politik Timur Dekat atau "Mediterania", hampir tidak ada Afrika sama sekali atau sebaik-baiknya persimpangan antara Timur Dekat, Mediterania Timur dan Afrika, yang membawa implikasi bahwa wilayah tersebut sebenarnya bukan bagian dari Afrika". Ia secara eksplisit mengkritik komentar Van De Mieroop bahwa Mesir kuno jelas 'di Afrika' itu tidak begitu jelas 'dari Afrika', karena mencerminkan "bias Egiptologis yang telah berlangsung lama". Ia menyimpulkan bahwa ciri-ciri kebudayaan saling terkait yang dimiliki antara dinamika Afrika timur laut dan Firaun Mesir bukanlah "kelangsungan hidup" atau kebetulan belaka, tetapi berbagi tradisi dengan asal usul yang sama di masa lampau".[71]

Para akademisi telah mengkritik studi genetika atas berbagai masalah metologi dan penyediaan interpretasi yang menyesatkan mengenai klasifikasi ras.[72][73] Boyce dan Keita berpendapat bahwa studi tertentu telah mengadopsi pendekatan yang selektif dalam pengambilan sampel, seperti penggunaan sampel yang sebagian besar diambil dari Mesir utara (Hilir), yang secara historis memiliki lebih banyak orang asing yang berasal dari Mediterania dan Timur Dekat serta menggunakan sampel tersebut untuk mewakili seluruh Mesir. Jadi, tidak termasuk Mesir Selatan atau Hulu yang '[berkulit] lebih gelap', sehingga menghadirkan kesan yang salah terhadap variabilitas Mesir. Para penulis juga mencatat bahwa pola kromosom telah menampilkan pelabelan yang tidak konsisten seperti Haplotipe V, sebagaimana yang terlihat dengan penggunaan istilah yang menyesatkan seperti "Arab" untuk menggambarkannya, sehingga menyiratkan bahwa haplotipe ini berasal dari 'Timur Tengah'. Namun, ketika varian haplotipe V dilihat dalam konteks, prevalensinya sangat tinggi di negara-negara Afrika di atas Sahara dan di Ethiopia.[74]

Pada tahun 2022, Danielle Candelora mengkritik bagaimana studi DNA modern disalahgunakan untuk agenda-agenda politik dan rasis. Sebagai contoh ia mengutip gema media tentang studi genom Schuenemann yang diterbitkan tahun 2017, yang "disensasionalkan di media sebagai bukti bahwa orang Mesir bukanlah orang Afrika berkulit hitam" terlepas dari keterbatasan metodologisnya dan dianggap oleh supremasi kulit putih sebagai "bukti ilmiah" untuk membenarkan pandangan mereka tentang pencapaian peradaban Mesir kuno. Candelora juga mencatat bahwa media mengabaikan keterbatasan metodologi penelitian seperti "metode pengambilan sampel yang belum teruji, ukuran sampel yang kecil dan data komparatif yang bermasalah".[75] Namun, studi lanjutan yang dilakukan pada 2022, dengan mengambil sampel enam situs penggalian berbeda di sepanjang Lembah Nil, yang meliputi 4000 tahun sejarah Mesir dan 18 genom mitokondria berkualitas tinggi yang telah direkonstruksi, para penulis berpendapat untuk mendukung hasil dari studi genom Schuenemann tahun 2017.[76]

Kontroversi masa kini sunting

Isu-isu tentang ras orang Mesir kuno saat ini adalah "situasi sulit yang dihindari oleh kebanyakan orang yang menulis tentang Mesir kuno dari arus utama keilmuan."[77] Oleh karenanya, perdebatan tersebut terjadi terutama di ruang publik dan cenderung berfokus pada sejumlah kecil isu tertentu.

Tutankhamun sunting

Topeng Tutankhamun.

Beberapa akademisi, termasuk Diop, menyatakan bahwa Tutankhamun berkulit hitam dan memprotes upaya rekonstruksi fitur wajah Tutankhamun (seperti yang tercetak di sampul majalah National Geographic) yang menggambarkan bahwa Raja "terlalu putih". Di antara para penulis, termasuk sejarawan dan sosiolog Chancellor Williams, juga berpendapat bahwa orang tua, kakek dan nenek Raja Tutankhamun adalah orang yang [berkulit] hitam.[78]

Dengan menggunakan CT-Scan tengkorak, para seniman forensik dan antropolog fisik yang berasal dari Mesir, Prancis dan Amerika Serikat secara independen membuat patung Tutankhamun. Seorang antropolog biologi dan Kepala tim Amerika, Susan Anton, mengutarakan bahwa ras tengkorak tersebut "sulit untuk diketahui". Ia juga menyatakan bahwa bentuk rongga tengkorak menandakan tengkorak tersebut sebagai orang Afrika, sedangkan bukaan hidung menunjukkan lubang hidung sempit, yang secara umum dianggap sebagai ciri orang Eropa. Dengan demikian, tengkorak tersebut disimpulkan sebagai orang Afrika Utara.[79] Para pakar lain berpendapat bahwa baik bentuk tengkorak maupun bukaan hidung, bukanlah indikasi ras yang dapat diandalkan.[80]

Meskipun teknologi modern dapat merekonstruksi struktur wajah, berdasarkan data CT dari mumi Tutankhamun dengan tingkat akurasi yang tinggi,[81] untuk menentukan warna kulit dan warna matanya tidaklah mungkin dapat dilakukan. Oleh karenanya, menurut seniman yang membuat model tanah liat kemudian diberi pewarnaan, hal tersebut didasarkan pada "warna rata-rata orang Mesir modern".[82]

Wakil presiden eksekutif National Geographic untuk misi program, Terry Garcia, mengatakan dalam menanggapi beberapa orang yang menyanggah tentang rekonstruksi Tutankhamun:

Variabel terbesar adalah warna kulit. Orang-orang Afrika Utara yang kita kenal saat ini, memiliki beragam warna kulit, dari terang hingga [berkulit] gelap. Dalam hal ini, kami memilih warna kulit sedang dan kami berkata, 'ini di tengah-tengah'. Sesungguhnya, kita tidak akan pernah tahu dengan kepastian 100%, apa warna kulitnya atau warna matanya ...Mungkin di masa yang akan datang, orang-orang akan sampai pada kesimpulan yang berbeda.[83]

Pada September 2007, ketika didesak oleh para aktivis Amerika, Sekretaris Jenderal Dewan Tertinggi Purbakala Mesir, Zahi Hawass menyatakan "Tutankhamun tidak berkulit hitam."[84]

Tahun 2002, Discovery Channel melakukan rekonstruksi wajah Tutankhamun berdasarkan CT scan dari bentuk tengkoraknya.[85][86] Kemudian dalam sebuah publikasi majalah Ancient Egypt terbitan November 2007, Zahi Hawass menegaskan bahwa tidak ada rekonstruksi-rekontruksi wajah yang menyerupai Raja Tut dan ia berpendapat tentang gambaran mengenai Raja Tut yang paling akurat adalah topeng dari makamnya.[87]

Sebuah perusahaan genomika iGENEA meluncurkan proyek DNA Tutankhamun pada tahun 2011, berdasarkan penanda genetik yang terindikasi telah diambil dari Discovery Channel, khusus tentang Firaun. Berdasarkan data dari mikrosatelit, iGENEA menunjukkan bahwa Tutankhamun termasuk ke dalam haplogroup R1b1a2, yakni klad paternal yang paling umum di antara laki-laki di Eropa Barat. Carsten Pusch dan Albert Zink, sebagai pemimpin unit yang bertindak atas ekstraksi DNA Tutankhamun, menegur iGENEA karena tidak melakukan komunikasi terlebih dahulu dengan mereka, sebelum membangun proyek tersebut. Setelah memeriksa hasil rekaman tersebut, mereka juga menyimpulkan bahwa metodologi yang digunakan iGENEA tidaklah ilmiah, sehingga Putsch menyebut mereka "tidaklah mungkin".[88]

Kleopatra sunting

Ras dan warna kulit Kleopatra VII, penguasa Helenistik terakhir dari dinasti Ptolemeus Yunani Makedonia di Mesir, yang didirikan pada 323 SM, juga menjadi perdebatan,[89] meskipun umumnya tidak ada dalam sumber-sumber ilmiah.[90] Misalnya, artikel "Apakah Kleopatra [berkulit] Hitam?" yang diterbitkan oleh majalah Ebony tahun 2012[91] dan sebuah artikel tentang Afrocentrisme dari St. Louis Post-Dispatch juga menyebutkan pertanyaan yang sama.[92] Profesor Emeritus Studi Klasik di Wellesley College, Mary Lefkowitz, menelusuri asal-usul utama klaim Kleopatra berkulit hitam dalam buku yang diterbitkan tahun 1946 oleh JA Rogers berjudul World's Great Men of Color, meskipun mencatat bahwa gagasan Kleopatra sebagai orang yang berkulit hitam, akan kembali mundur setidaknya ke abad ke-19.[93][94]

Referensi sunting

Pustaka sunting

Pranala luar sunting