Bruselosis

penyakit pada manusia dan hewan akibat infeksi bakteri Brucella

Bruselosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri dalam genus Brucella. Penyakit ini dapat diderita oleh manusia dan hewan, serta bersifat zoonotik. Bakteri menular dari hewan ke manusia melalui konsumsi susu yang belum dipasteurisasi atau daging hewan yang terinfeksi yang belum matang, serta melalui kontak dengan sekresi hewan.[1] Bruselosis ditandai dengan demam yang naik turun. Orang-orang yang paling berisiko tinggi mendapat penyakit ini ialah pekerja di perusahaan susu, pekerja di rumah potong hewan, penggunting bulu domba, dan penyamak kulit.

Bruselosis
Pembengkakan akibat higroma pada persendian kaki depan sapi yang merupakan tanda klinis bruselosis
Informasi umum
Nama lainDemam Malta, demam Mediterania, demam undulan, penyakit Bang
SpesialisasiPenyakit infeksi
Penderitamanusia, hewan
Penyebabbakteri Brucella spp.
Faktor risikokonsumsi susu dan produk hewan mentah, pekerja rumah potong hewan, pencukur rambut domba, pemburu hewan
Aspek klinis
Gejala dan tandamanusia: demam naik turun, berkeringat, nyeri sendi dan otot; hewan: keguguran dan orkitis
Komplikasiradang sendi, meningitis, endokarditis, gangguan saraf
Diagnosiskultur bakteri, uji serologis (RBT, uji cincin susu, ELISA), PCR
Pengobatanantibiotik

Brucella merupakan bakteri kelompok Gram-negatif, bersifat nonmotil, tidak membentuk spora, dan berbentuk batang dengan sudut bulat (kokobasil). Mereka hidup sebagai parasit intraselular fakultatif dan menyebabkan penyakit kronis yang biasanya bertahan seumur hidup. Empat spesies Brucella diketahui menginfeksi manusia, yaitu B. abortus, B. melitensis, B. canis, dan B. suis. Brucella abortus umumnya menyebabkan penyakit pada sapi. Brucella melitensis merupakan spesies yang paling ganas dan invasif, biasanya menginfeksi kambing dan kadang-kadang domba. Brucella canis menyerang anjing. Brucella suis memiliki virulensi menengah dan terutama menginfeksi babi. Gejala klinis yang ditimbulkan meliputi keringat yang banyak serta nyeri sendi dan nyeri otot. Bruselosis telah dikenal pada hewan dan manusia sejak abad ke-20.

Tanda dan gejala sunting

Grafik[pranala nonaktif permanen] kasus bruselosis pada manusia di Amerika Serikat dari tahun 1993–2010 yang disurvei oleh Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS melalui Sistem Surveilans Penyakit Nasional.[2]

Gejala klinis bruselosis berupa demam yang dapat disertai nyeri otot dan berkeringat pada malam hari. Durasi penyakit dapat bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Pada tahap pertama penyakit, terjadi bakteremia yang mengarah pada demam undulan (berkala). Gejala klinis di antaranya berkeringat (sering kali berbau busuk atau berjamur, kadang-kadang disamakan dengan jerami basah), serta artralgia (nyeri sendi) dan mialgia (nyeri otot) yang berpindah. Pemeriksaan darah menunjukkan penurunan jumlah sel darah putih dan sel darah merah, serta peningkatan enzim hati seperti SGOT dan ALT. Selain itu, darah penderitanya juga menunjukkan reaksi positif terhadap uji RBT dan Huddleston. Gejala gastrointestinal terjadi pada 70% kasus, termasuk mual, muntah, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, sakit perut, sembelit, diare, pembesaran hati, peradangan hati, abses hati, dan pembesaran limpa.

Penyakit ini, setidaknya di Portugal, Israel, Suriah, dan Yordania, dikenal sebagai demam Malta. Selama demam, melitokoksemia (adanya bakteri brusela dalam darah) biasanya dibuktikan dengan kultur darah dalam medium triptosa atau medium Albini. Jika tidak diobati, penyakit ini dapat menjadi sumber fokalisasi atau menjadi kronis. Fokalisasi bruselosis biasanya terjadi pada tulang dan persendian, juga terjadi osteomielitis atau spondilodiskitis pada tulang belakang lumbal disertai dengan sakroiliitis yang merupakan karakter khas penyakit ini. Orkitis juga sering terjadi pada penderita laki-laki.

Konsekuensi dari infeksi Brucella sangat bervariasi, di antaranya radang sendi, spondilitis, trombositopenia, meningitis, uveitis, neuritis optik, endokarditis, dan berbagai gangguan saraf yang secara kolektif dikenal sebagai neurobruselosis.

Penyebab sunting

Granuloma dan nekrosis di hati tikus belanda yang terinfeksi Brucella suis.

Bruselosis disebabkan oleh bakteri dalam genus Brucella. Sejumlah spesies Brucella telah diidentifikasi dan masing-masing memiliki kecenderungan untuk menginfeksi jenis hewan tertentu.

Bruselosis pada manusia biasanya dikaitkan dengan konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi dan keju lunak yang terbuat dari susu hewan yang terinfeksi, terutama kambing yang terinfeksi B. melitensis, serta akibat paparan kuman yang sering dialami pekerja laboratorium, dokter hewan, dan pekerja rumah potong hewan.[3] Beberapa vaksin yang digunakan pada ternak, terutama B. abortus galur 19, juga menyebabkan penyakit pada manusia jika disuntikkan secara tidak sengaja. Bruselosis menginduksi demam yang tidak konstan, keguguran, berkeringat, lemah, anemia, sakit kepala, depresi, serta nyeri otot dan tubuh. Jenis lainnya, B. suis dan B. canis, masing-masing menyebabkan infeksi pada babi dan anjing.

Secara umum, bruselosis menimbulkan risiko kerja bagi peternak kambing, terutama bagi mereka tidak menyadari risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia dan kurangnya pengetahuan tentang praktik pemeliharaan hewan yang aman, seperti penerapan karantina.[4]

Diagnosis sunting

Diagnosis bruselosis bergantung pada:

  1. Penemuan bakteri melalui kultur darah dalam kaldu triptosa, kultur sumsum tulang. Pertumbuhan Brucella sangat lambat (dapat memakan waktu hingga dua bulan untuk tumbuh) dan kultur tersebut berisiko bagi pegawai laboratorium karena tingginya infektivitas bakteri.
  2. Deteksi antibodi terhadap agen, baik dengan reaksi Huddleson, Wright, dan/atau Rose Bengal. Pengujian dengan ELISA atau 2-merkaptoetanol digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM dikaitkan dengan penyakit kronis.
  3. Temuan histologis berupa hepatitis granulomatosa pada biopsi hati.
  4. Perubahan radiologis pada tulang belakang yang terinfeksi: tanda Pedro Pons (erosi preferensial dari sudut anterosuperior vertebra lumbal) dan osteofitosis yang ditandai mencurigakan adanya spondilitis bruselik.

Diagnosis pasti bruselosis dilakukan dengan isolasi bakteri dari darah, cairan tubuh, atau jaringan, tetapi metode serologis mungkin merupakan satu-satunya pengujian yang dapat digunakan secara luas. Kultur darah yang positif ditemukan pada 40 hingga 70% kasus, dan B. abortus cenderung tidak menunjukkan hasil positif dibandingkan B. melitensis atau B. suis . Deteksi antibodi spesifik terhadap lipopolisakarida bakteri dan antigen lain dapat dideteksi dengan tes aglutinasi standar (SAT), uji Rose Bengal, 2-merkaptoetanol (2-ME), globulin antimanusia (Coombs), dan uji imunosorben terkait-enzim (ELISA) tidak langsung. Uji SAT merupakan metode serologis yang paling umum digunakan di daerah endemis.[5][6] Titer aglutinasi yang lebih besar dari 1:160 dianggap signifikan di daerah nonendemik dan lebih besar dari 1:320 di daerah endemik.

Akibat persamaan polisakarida O Brucella dengan berbagai bakteri Gram-negatif lainnya (misalnya Francisella tularensis, Escherichia coli, Salmonella urbana, Yersinia enterocolitica, Vibrio cholerae, dan Stenotrophomonas maltophilia), dapat terjadi reaksi silang oleh IgM. Ketidakmampuan SAT untuk mendiagnosis B. canis karena kurangnya reaksi silang merupakan kelemahan lainnya. Hasil SAT negatif palsu dapat disebabkan oleh adanya antibodi pemblokir (disebut fenomena prozon) dalam α2-globulin (IgA) dan pada fraksi α-globulin (IgG).

Tes dipstik merupakan pengujian yang baru dan menjanjikan, yang didasarkan pada pengikatan antibodi IgM. Uji ini bersifat sederhana, akurat, dan cepat. ELISA biasanya menggunakan protein sitoplasma sebagai antigen. Uji ini bertujuan mengukur IgM, IgG, dan IgA dengan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan SAT.[7] Uji komersial Brucellacapt, yaitu uji penangkapan imonologis satu langkah untuk mendeteksi total antibodi anti-Brucella, merupakan uji tambahan yang semakin sering dilakukan. Uji berbasis PCR dapat digunakan dengan cepat dan spesifik. Berbagai variasi PCR telah dikembangkan (misalnya PCR bersarang, PCR waktu-nyata, dan PCR-ELISA) dan dilaporkan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang unggul untuk mendeteksi infeksi primer dan infeksi yang kambuh setelah pengobatan.[8] Sayangnya, uji ini tidak terstandarkan untuk digunakan secara rutin, dan beberapa laboratorium telah melaporkan hasil positif PCR yang persisten meskipun pengobatan telah berhasil secara klinis. Hal ini memicu kontroversi tentang adanya bruselosis kronis yang berkepanjangan.

Temuan laboratoris lainnya termasuk jumlah sel darah putih perifer yang normal, dan sesekali leukopenia dengan limfositosis relatif. Profil biokimia serum biasanya normal.[9]

Pengobatan sunting

Antibiotik seperti tetrasiklin, rifampisin, serta aminoglikosida streptomisin dan gentamisin efektif melawan bakteri Brucella. Namun, pengobatan memerlukan lebih dari satu antibiotik selama beberapa minggu karena bakteri berinkubasi dalam sel.

Surveilans menggunakan uji serologis, termasuk pada sampel susu menggunakan tes cincin susu, dapat digunakan untuk uji tapis (skrining) yang berperan penting dalam program pemberantasan penyakit. Pengujian juga dilakukan terhadap hewan secara individual, baik untuk perdagangan maupun untuk pengendalian penyakit. Di daerah endemik, vaksinasi sering diterapkan untuk mengurangi kejadian infeksi. Bakteri hidup yang dimodifikasi digunakan sebagai vaksin untuk hewan. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) memberikan panduan terperinci tentang produksi vaksin.

Pengobatan standar untuk orang dewasa adalah 1 gram streptomisin yang disuntikkan secara intramuskular setiap hari selama 14 hari dan 100 mg doksisiklin oral dua kali sehari selama 45 hari (secara bersamaan). Gentamisin sebanyak 5 mg/kg dengan injeksi intramuskuler sekali sehari selama 7 hari merupakan alternatif pengganti jika streptomisin tidak tersedia atau dikontraindikasikan.[10] Regimen lain yang banyak digunakan adalah doksisiklin disertai rifampisin secara oral sebanyak dua kali sehari selama setidaknya 6 minggu. Terapi gabungan dengan doksisiklin, rifampin, dan kotrimoksazol, telah berhasil digunakan untuk mengobati neurobruselosis.[11]

Doksisiklin mampu melintasi sawar darah–otak, tetapi membutuhkan tambahan dua obat lain untuk mencegah agar penyakit tidak kambuh. Terapi siprofloksasin dan kotrimoksazol dikaitkan dengan kekambuhan yang sangat tinggi. Pada endokarditis bruselik, pembedahan diperlukan untuk hasil yang optimal. Bahkan dengan terapi antibruselik yang optimal, kekambuhan masih terjadi pada 5 sampai 10% penderita bruselosis.

Cara utama mencegah bruselosis adalah dengan menerapkan higiene yang ketat dalam memproduksi produk-produk susu mentah, atau dengan pasteurisasi pada semua produk susu yang akan dikonsumsi manusia, baik dalam bentuk susu murni atau turunannya, seperti keju.

Prognosis sunting

Kematian akibat bruselosis pada tahun 1909, sebagaimana yang dicatat oleh Angkatan Darat dan Angkatan Laut Inggris yang ditempatkan di Malta, adalah 2%. Penyebab kematian yang paling sering adalah endokarditis. Penemuan antibiotik dan pembedahan berhasil mencegah kematian akibat endokarditis. Pencegahan bruselosis manusia dapat dicapai dengan memberantas penyakit pada hewan melalui vaksinasi dan metode pengendalian lainnya, seperti menguji kawanan hewan dan menyembelih hewan terinfeksi. Saat ini, tidak ada vaksin yang efektif untuk manusia. Mendidihkan susu sebelum dikonsumsi atau sebelum mengolahnya untuk menghasilkan produk turunan, dapat mencegah penularan melalui konsumsi. Pencegahan juga dilakukan dengan tidak mengonsumsi daging, hati, atau sumsum tulang yang mentah. Penderita bruselosis tidak diperbolehkan menyumbangkan darah atau organnya. Personel laboratorium diagnostik bisa terpapar Brucella apabila mereka tidak berhati-hati dan tidak menyadari risiko penularan dari sampel yang sedang diuji.[12] Melalui penilaian risiko yang tepat, personel dengan paparan yang signifikan perlu diberikan profilaksis pascapajanan dan diuji secara serologis selama 6 bulan.[13] Efek samping akibat pemberian rifampisin dan doksisiklin yang direkomendasikan selama 3 minggu juga membuat seseorang tidak mematuhi dosis pengobatan. Karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pengobatan dengan dua obat lebih baik daripada satu obat, pedoman di Inggris lalu hanya merekomendasikan doksisiklin selama 3 minggu dan protokol tindak lanjut yang kurang memberatkan.[14]

Epidemiologi sunting

Eropa sunting

Peta[pranala nonaktif permanen] kejadian infeksi B. melitensis pada hewan di Eropa selama paruh pertama 2006
  tidak pernah dilaporkan
  tidak dilaporkan pada periode ini
  konfirmasi kasus klinis
  konfirmasi infeksi
  tidak ada informasi

Malta sunting

Hingga awal abad ke-20, penyakit ini bersifat endemik di Malta sampai-sampai disebut sebagai "demam Maltese". Sejak 2005, berkat sertifikasi hewan penghasil susu yang ketat dan meluasnya penerapan pasteurisasi, penyakit ini telah diberantas dari Malta.[15]

Republik Irlandia sunting

Republik Irlandia dinyatakan bebas bruselosis pada 1 Juli 2009. Penyakit ini telah mengganggu para petani dan dokter hewan di negara ini selama beberapa dekade.[16][17] Pemerintah Irlandia mengajukan permohonan kepada Komisi Eropa, yang kemudian memverifikasi bahwa Irlandia telah bebas dari bruselosis.[17] Brendan Smith, Menteri Pertanian, Pangan, dan Kelautan Irlandia saat itu, mengatakan penghapusan bruselosis merupakan "tonggak dalam sejarah pemberantasan penyakit di Irlandia".[16][17]

Amerika Utara, Tengah, dan Selatan sunting

Amerika Serikat sunting

Kawanan sapi perah di Amerika Serikat diuji setidaknya setahun sekali untuk sertifikasi bebas bruselosis,[18] dengan uji cincin susu.[19] Sapi yang dipastikan terinfeksi sering kali disembelih. Di Amerika Serikat, semua sapi muda divaksinasi untuk lebih mengurangi kemungkinan penularan zoonosis. Vaksinasi ini biasanya disebut sebagai vaksinasi "calfhood". Sebagian besar ternak menerima tato di salah satu telinga mereka, yang berfungsi sebagai bukti status vaksinasi mereka. Pada tato ini juga dituliskan digit terakhir tahun kelahiran mereka.[20]

Upaya kerja sama di antara negara bagian untuk memberantas bruselosis yang disebabkan oleh B. abortus di AS dimulai pada tahun 1934.

Bruselosis awalnya masuk ke Amerika Utara melalui sapi domestik yang bukan merupakan spesies asli di sana (Bos taurus), yang kemudian menularkan penyakit ini ke bison liar (Bison bison), dan elk (Cervus canadensis). Tidak ada catatan bruselosis pada ungulata asli Amerika hingga awal abad ke-19.[21]

Argentina sunting

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2002, diperkirakan 10–13% hewan ternak di Argentina terinfeksi Brucella.[22] Kerugian tahunan akibat penyakit tersebut sekitar $60 juta. Sejak 1932, lembaga pemerintah telah berupaya menanggulangi penyakit ini. Saat ini, semua sapi berusia 3–8 bulan harus menerima vaksin Brucella abortus galur 19.[23]

Kanada sunting

Pada 19 September 1985, pemerintah Kanada menyatakan populasi sapinya bebas dari bruselosis. Pengujian cincin pada susu dan krim, serta pengujian pada sapi yang akan disembelih berakhir pada 1 April 1999. Pemantauan berlanjut melalui pengujian di pasar pelelangan dengan prosedur pelaporan penyakit standar. Pengujian juga dilakukan bagi ternak yang memenuhi syarat untuk diekspor ke negara-negara selain Amerika Serikat.[24]

Asia, Australia, dan Oseania sunting

Indonesia sunting

Peta provinsi dengan status bebas bruselosis pada sapi Indonesia.

Bruselosis masih menjadi penyakit penting bagi hewan-hewan di Indonesia. Pemerintah Indonesia memasukkan bruselosis dalam penyakit hewan menular strategis, yaitu daftar penyakit hewan yang diprioritaskan untuk dikendalikan dan ditanggulangi.

Australia sunting

Australia bebas dari bruselosis sapi, meskipun kasusnya pernah terjadi di masa lalu. Bruselosis domba atau kambing belum pernah dilaporkan. Bruselosis babi ditemukan, dengan babi liar sebagai sumber infeksi bagi manusia.[25][26]

Selandia Baru sunting

Bruselosis di Selandia Baru terbatas pada domba (B. ovis). Negara ini bebas dari semua spesies Brucella lainnya.[27]

Sejarah sunting

David Bruce (tengah), dengan anggota Komisi Demam Mediterania (bruselosis).
Laboratorium tempat Sir Themistocles Zammit dan Komisi Demam Mediterania melakukan penelitian tentang bruselosis dari tahun 1904 hingga 1906 terletak di dalam Castellania di Valletta, Malta.

Bruselosis pertama kali menjadi perhatian petugas medis Britania Raya pada tahun 1850-an di Malta selama Perang Krimea, dan disebut sebagai demam Malta. Jeffery Allen Marston (1831–1911) menggambarkan kasus penyakit ini, yang dideritanya sendiri, pada tahun 1861. Hubungan sebab akibat antara organisme dan penyakit pertama kali diketahui pada tahun 1887 oleh David Bruce.[28][29] Agen yang diidentifikasi Bruce digolongkan sebagai bakteri kokus.

Pada tahun 1897, dokter hewan Denmark, Bernhard Bang, mengisolasi basilus sebagai agen yang memicu peningkatan aborsi spontan pada sapi, dan nama "penyakit Bang" diberikan untuk kondisi ini. Pada saat itu, tidak ada yang tahu bahwa basil ini ada hubungannya dengan agen penyebab demam Malta.

Ilmuwan dan arkeolog Malta, Themistocles Zammit, mengidentifikasi susu kambing yang tidak dipasteurisasi sebagai faktor etiologi utama dari demam undulan pada bulan Juni 1905.[30]

Pada akhir 1910-an, ahli bakteriologi Amerika Alice C. Evans mempelajari bakteri basil Bang dan secara bertahap menyadari bahwa bakteri tersebut hampir tidak dapat dibedakan dari bakteri kokus Bruce.[31] Kombinasi morfologis batang pendek dan bulat membuat bakteri ini disebut berbentuk kokobasilus.[31] Bakteri basilus Bang sudah dikenal sebagai enzootik pada sapi perah Amerika yang mengalami aborsi menular.[31] Setelah menemukan bahwa bakteri tersebut hampir identik dan mungkin benar-benar sama, Evans kemudian bertanya-tanya mengapa demam Malta tidak banyak didiagnosis atau dilaporkan di Amerika Serikat.[31] Ia mulai menyelidiki apakah banyak kasus penyakit demam yang tidak didiagnosis dengan baik sebenarnya disebabkan oleh meminum susu mentah (tidak dipasteurisasi).[31] Selama 1920-an, hipotesis ini terbukti. Penyakit-penyakit semacam itu dianggap sebagai gangguan pencernaan yang tidak terdiagnosis dan yang tidak diobati, hingga salah didiagnosis.[31] Kemajuan dalam bakteriologi kemudian memicu perubahan besar dalam industri susu AS untuk meningkatkan keamanan pangan. Perubahan tersebut di antaranya membuat standar pasteurisasi dan memperketat standar kebersihan tempat produksi susu di peternakan sapi perah. Aturan tersebut memicu keterlambatan produksi dan skeptisisme dalam industri ini,[31] tetapi akhirnya menjadi norma dalam penerapan higiene. Meskipun langkah-langkah ini terkadang dianggap berlebihan dalam beberapa dekade sejak diterapkan, proses pemerahan susu atau pengolahan susu yang tidak higienis, atau meminum susu mentah, bukanlah alternatif yang aman.

Genus bakteri ini diberi nama Brucella untuk menghormati David Bruce. Beberapa dekade setelah temuan Evans, ditemukan beberapa spesies dalam genus Brucella dengan virulensi yang bervariasi. Nama bruselosis secara bertahap menggantikan demam Mediterania dan demam Malta yang telah digunakan sejak abad ke-19.[32]

Pada tahun 1989, ahli saraf di Arab Saudi menemukan "neurobruselosis", yaitu bruselosis yang melibatkan saraf.[33][34]

Beberapa nama usang telah digunakan untuk menyebut bruselosis, seperti demam Krimea, demam Siprus, demam Gibraltar, demam kambing, demam Italia, dan demam Neapolitan.[35][36]

Perang biologis sunting

Spesies Brucella digunakan sebagai senjata biologis oleh beberapa negara maju pada pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1954, B. suis menjadi infeksi agen pertama yang digunakan sebagai senjata oleh Amerika Serikat di Pine Bluff Arsenal di dekat Pine Bluff, Arkansas. Spesies Brucella bertahan dengan baik pada aerosol dan tahan pengeringan. Brucella dan semua senjata biologis lainnya yang tersisa di gudang senjata AS dihancurkan pada tahun 1971-1972 ketika program perang biologis ofensif Amerika Serolat dihentikan atas perintah Presiden Richard Nixon.[37]

Program peperangan bakteriologis eksperimental Amerika berfokus pada tiga agen dari kelompok Brucella: bruselosis babi (agen US), bruselosis sapi (agen AA), dan bruselosis domba (agen AM).

Agen US telah dikembangkan pada akhir Perang Dunia II. Ketika Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) menginginkan kemampuan perang biologis, Korps Kimia menawarkan penggunaan Agen US dalam bom M114, seperti bom yang dikembangkan untuk menyebarkan antraks selama Perang Dunia II. Meskipun kapabilitasnya telah dikembangkan, pengujian operasional menunjukkan senjata ini kurang efektif dan tidak seperti yang diinginkan, sehingga USAF mendesainnya sebagai senjata sementara sampai pada akhirnya bisa digantikan oleh senjata biologis yang lebih efektif.

Kelemahan utama penggunaan M114 dengan Agen US adalah bahwa ia bertindak sebagai agen yang melemahkan, sedangkan pemerintah USAF menginginkan senjata yang mematikan. Selain itu, stabilitas M114 dalam penyimpanan terlalu rendah untuk memungkinkannya disimpan di pangkalan udara depan, dan persyaratan logistik untuk menetralisir target jauh lebih tinggi dibandingkan perencanaan semula. Pada akhirnya, senjata ini akan membutuhkan terlalu banyak dukungan logistik untuk dipraktikkan di lapangan.

Agen US dan AA memiliki dosis infektif median 500 organisme per orang, dan untuk Agen AM adalah 300 organisme per orang. Waktu inkubasi diyakini sekitar dua minggu, dengan durasi infeksi beberapa bulan. Perkiraan kematian yang didasarkan pada informasi epidemiologis yaitu 1 hingga 2%. Agen AM diyakini menimbulkan penyakit yang agak lebih ganas, dengan tingkat kematian yang diharapkan sebesar 3%.

Infeksi pada hewan sunting

Spesies yang menginfeksi ternak domestik adalah B. abortus (sapi, bison, dan rusa), B. canis (anjing), B. melitensis (kambing dan domba), B. ovis (domba), dan B. suis (rusa kutub dan babi). Spesies Brucella juga telah diisolasi dari beberapa spesies mamalia laut (setasea dan anjing laut).

Sapi sunting

B. abortus merupakan penyebab utama bruselosis pada sapi. Bakteri dikeluarkan dari hewan yang terinfeksi pada atau sekitar waktu melahirkan atau aborsi. Setelah terpapar, kemungkinan seekor hewan menjadi terinfeksi bervariasi, tergantung pada usia, status kehamilan, faktor intrinsik lainnya dari hewan tersebut, serta jumlah paparan bakteri.[38] Tanda-tanda klinis paling umum pada sapi yang terinfeksi B. abortus adalah kejadian aborsi yang tinggi, sendi rematik, dan retensi plasenta.

Dua pendukung utama aborsi spontan pada hewan adalah eritritol, senyawa kimia yang dapat mendukung infeksi Brucella pada janin dan plasenta, dan kurangnya aktivitas anti-Brucella dalam cairan ketuban. Hewan jantan juga dapat menampung bakteri dalam saluran reproduksi mereka, yaitu vesikula seminalis, ampula, testis, dan epididimis.

Anjing sunting

Agen penyebab bruselosis pada anjing, B. canis, ditularkan ke anjing lain melalui hubungan seksual dan kontak dengan janin yang gugur. Bruselosis dapat terjadi pada manusia yang bersentuhan dengan jaringan atau semen yang terinfeksi. Bakteri pada anjing biasanya menginfeksi alat kelamin dan sistem limfatik, tetapi juga dapat menyebar ke mata, ginjal, dan diskus intervertebralis. Bruselosis pada diskus intervertebralis adalah salah satu kemungkinan penyebab peradangan pada bagian tersebut, yang disebut diskospondilitis. Gejala bruselosis pada anjing di antaranya aborsi pada anjing betina serta peradangan skrotum dan orkitis pada anjing jantan. Demam jarang terjadi. Infeksi mata dapat menyebabkan uveitis, dan infeksi pada diskus intervertebralis dapat menyebabkan nyeri atau kelemahan. Pemeriksaan darah pada anjing sebelum berkembang biak dapat mencegah penyebaran penyakit ini. Penyakit ini diobati dengan antibiotik, seperti halnya dengan manusia, tetapi sulit untuk disembuhkan.[39]

Satwa liar akuatik sunting

Bruselosis pada ordo setasea disebabkan oleh B. ceti. Bakteri ini pertama kali ditemukan pada janin lumba-lumba hidung botol yang teraborsi. Struktur morfologi B. ceti mirip dengan Brucella pada hewan darat. Brucella ceti umumnya terdeteksi dalam dua subordo dari setasea, yaitu Mysticeti (paus balin) dan Odontoceti (paus bergigi). Pada Mysticeti mencakup empat keluarga paus balin, yaitu paus pemakan-penyaring, dan pada Odontoceti mencakup dua keluarga setasea bergigi, mulai dari lumba-lumba hingga paus sperma. Brucella ceti diyakini berpindah dari hewan ke hewan melalui hubungan seksual, ketika menyusui, dari janin yang gugur, masalah plasenta, dan dari induk ke janin, atau melalui ikan sebagai reservoir. Bruselosis merupakan penyakit reproduksi sehingga memiliki dampak negatif yang ekstrem pada dinamika populasi suatu spesies. Hal ini menjadi masalah yang lebih besar ketika terjadi pada setasea, yang populasinya sudah rendah. Brucella ceti telah diidentifikasi dalam empat dari 14 keluarga setasea, tetapi antibodi baru terdeteksi pada tujuh keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa B. ceti umum menginfeksi keluarga dan populasi setasea. Hanya sebagian kecil individu yang terpapar yang sakit atau mati. Namun, spesies tertentu tampaknya lebih mungkin terinfeksi oleh B. ceti . Lumba-lumba pelabuhan (Phocoena phocoena), lumba-lumba bergaris (Stenella coeruleoalba), lumba-lumba sisi putih (beberapa spesies Lagenorhynchus), lumba-lumba hidung botol (Tursiops), dan lumba-lumba biasa, memiliki frekuensi infeksi tertinggi di antara subordo paus bergigi. Dalam subordo paus balin, paus minke utara (Balaenoptera acutorostrata) adalah spesies yang paling banyak terinfeksi. Lumba-lumba dan porpois (keluarga Phocoenidae) lebih mungkin terinfeksi dibandingkan setasea seperti paus. Infeksi tampaknya tidak dipengaruhi oleh usia atau jenis kelamin individu. Meskipun bersifat fatal bagi setasea, B. ceti memiliki tingkat infeksi yang rendah untuk manusia.[40]

Satwa liar darat sunting

Dalam berbagai jenisnya, bruselosis dapat menginfeksi beberapa spesies satwa liar, termasuk elk (Cervus canadensis), bison amerika (Bison bison), kerbau afrika (Syncerus caffer), babi hutan Eropa (Sus scrofa), rusa kutub (Rangifer tarandus), rusa besar (Alces alces), dan mamalia laut.[41][42] Meskipun beberapa daerah menggunakan vaksin untuk mencegah penyebaran bruselosis antara populasi satwa liar yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi, tidak ada vaksin bruselosis yang dinyatakan cocok untuk satwa liar darat.[43] Kesenjangan dalam pengetahuan medis ini menciptakan lebih banyak tekanan dalam usaha mengurangi penyebaran penyakit.[43]

Bison dan rusa liar di daerah Yellowstone merupakan reservoir terakhir B. abortus di AS. Transmisi brusellosis dari elk ke sapi di negara bagian Idaho dan Wyoming menggambarkan bagaimana daerah tersebut, sebagai reservoir terakhir yang tersisa di AS, dapat berdampak buruk pada industri peternakan. Menghilangkan bruselosis dari daerah ini merupakan tantangan, karena ada banyak sudut pandang tentang cara menangani satwa liar yang sakit. Namun, Departemen Perburuan dan Ikan Wyoming mulai melindungi hewan pemakan bangkai (terutama koyote dan rubah merah) di lahan pakan elk, karena mereka bertindak sebagai agen kontrol biologis yang alami, tanpa biaya, dengan memakan janin rusa terinfeksi dengan cepat.[44] Bison ras murni di Pegunungan Henry di selatan Utah telah bebas dari bruselosis.[45]

Perlindungan Rusa Nasional di Jackson, Wyoming, menyatakan bahwa intensitas program pemberian pakan pada musim dingin memengaruhi penyebaran bruselosis pada populasi rusa dan bison.[46] Karena memusatkan hewan di sekitar petak makanan mempercepat penyebaran penyakit, mereka kemudian mengurangi kepadatan kawanan dan meningkatkan sebaran hewan untuk membatasi penyebaran bruselosis.[46]

Efek pada pemburu sunting

Pemburu hewan mungkin memiliki risiko tambahan untuk terkena bruselosis karena meningkatnya kontak dengan satwa liar yang rentan, termasuk predator yang mungkin memakan hewan yang terinfeksi. Anjing pemburu juga dapat berisiko terinfeksi.[47] Paparan dapat terjadi melalui kontak dengan luka terbuka atau dengan langsung menghirup bakteri saat membersihkan hewan buruan.[48] Pada beberapa kasus, konsumsi hewan yang kurang matang dapat mengakibatkan paparan penyakit.[48] Pemburu dapat membatasi paparan dengan mengenakan alat pelindung diri, termasuk sarung tangan dan masker, dan dengan mencuci alat-alat berburu setelah digunakan.[49][50] Dengan memastikan bahwa hewan buruan dimasak dengan matang, pemburu dapat melindungi diri mereka sendiri dan orang lain dari menelan bakteri.[48] Pemburu harus merujuk ke otoritas kegiatan berburu lokal dan otoritas kesehatan untuk mengetahui risiko paparan bruselosis di daerahnya dan untuk mempelajari lebih lanjut tentang tindakan untuk mengurangi atau menghindari paparan.

Referensi sunting

  1. ^ "Diagnosis and Management of Acute Brucellosis in Primary Care" (PDF). Brucella Subgroup of the Northern Ireland Regional Zoonoses Group. Agustus 2004. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 13 Oktober 2007. 
  2. ^ "Brucellosis: Resources: Surveillance". CDC. 2018-10-09. 
  3. ^ Wyatt, Harold Vivian (October 2005). "How Themistocles Zammit found Malta Fever (brucellosis) to be transmitted by the milk of goats". Journal of the Royal Society of Medicine. University of Leeds, London: The Royal Society of Medicine Press. 98 (10): 451–454. doi:10.1258/jrsm.98.10.451. ISSN 0141-0768. OCLC 680110952. PMC 1240100 . PMID 16199812. 
  4. ^ Peck, Megan E.; Jenpanich, Chayanee; Amonsin, Alongkorn; Bunpapong, Napawan; Chanachai, Karoon; Somrongthong, Ratana; Alexander, Bruce H.; Bender, Jeff B. (2019-01-02). "Knowledge, Attitudes and Practices Associated with Brucellosis among Small-Scale Goat Farmers in Thailand". Journal of Agromedicine. 24 (1): 56–63. doi:10.1080/1059924X.2018.1538916. ISSN 1059-924X. PMID 30350754. 
  5. ^ Franco, María Pía; Mulder, Maximilian; Gilman, Robert H; Smits, Henk L (December 2007). "Human brucellosis". The Lancet Infectious Diseases. 7 (12): 775–786. doi:10.1016/S1473-3099(07)70286-4. PMID 18045560. 
  6. ^ Al Dahouk, Sascha; Nöckler, Karsten (July 2011). "Implications of laboratory diagnosis on brucellosis therapy". Expert Review of Anti-infective Therapy. 9 (7): 833–845. doi:10.1586/eri.11.55. PMID 21810055. 
  7. ^ Mantur, B.; Parande, A.; Amarnath, S.; Patil, G.; Walvekar, R.; Desai, A.; Parande, M.; Shinde, R.; Chandrashekar, M. (3 August 2010). "ELISA versus Conventional Methods of Diagnosing Endemic Brucellosis". American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 83 (2): 314–318. doi:10.4269/ajtmh.2010.09-0790. PMC 2911177 . PMID 20682874. 
  8. ^ Yu, Wei Ling; Nielsen, Klaus (August 2010). "Review of Detection of Brucella sp. by Polymerase Chain Reaction". Croatian Medical Journal. 51 (4): 306–313. doi:10.3325/cmj.2010.51.306. PMC 2931435 . PMID 20718083. 
  9. ^ Vrioni, Georgia; Pappas, Georgios; Priavali, Efthalia; Gartzonika, Constantina; Levidiotou, Stamatina (15 June 2008). "An Eternal Microbe: DNA Load Persists for Years after Clinical Cure". Clinical Infectious Diseases. 46 (12): e131–e136. doi:10.1086/588482. PMID 18462106. 
  10. ^ Hasanjani R, Mohraz M, Hajiahmadi M, Ramzani A, Valayati AA (April 2006). "Efficacy of gentamicin plus doxycycline versus streptomycin plus doxycycline in the treatment of brucellosis in humans". Clin. Infect. Dis. 42 (8): 1075–1080. doi:10.1086/501359. PMID 16575723. 
  11. ^ McLean DR, Russell N, Khan MY (October 1992). "Neurobrucellosis: clinical and therapeutic features". Clin. Infect. Dis. 15 (4): 582–90. doi:10.1093/clind/15.4.582. PMID 1420670. 
  12. ^ Yagupsky, Pablo; Baron, Ellen Jo (August 2005). "Laboratory Exposures to Brucellae and Implications for Bioterrorism". Emerging Infectious Diseases. 11 (8): 1180–1185. doi:10.3201/eid1108.041197. PMC 3320509 . PMID 16102304. 
  13. ^ Centers for Disease Control and Prevention, (CDC) (18 January 2008). "Laboratory-acquired brucellosis—Indiana and Minnesota, 2006". MMWR. Morbidity and Mortality Weekly Report. 57 (2): 39–42. PMID 18199967. 
  14. ^ Lowe, Christopher F.; Showler, Adrienne J.; Perera, Suzette; McIntyre, Susan; Qureshi, Roohi; Patel, Samir N.; Allen, Vanessa; Devlin, H. Roslyn; Muller, Matthew P. (January 2015). "Hospital-Associated Transmission of outside the Laboratory1". Emerging Infectious Diseases. 21 (1): 150–152. doi:10.3201/eid2101.141247. PMC 4285263 . PMID 25531198. 
  15. ^ Rizzo Naudi, John (2005). Brucellosis, The Malta Experience. Malta: Publishers Enterprises group (PEG) Ltd. ISBN 978-99909-0-425-3. 
  16. ^ a b "Ireland free of brucellosis". RTÉ. 2009-07-01. Diakses tanggal 2009-07-01. 
  17. ^ a b c "Ireland declared free of brucellosis". The Irish Times. 2009-07-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-03. Diakses tanggal 2009-07-01. Michael F Sexton, president of Veterinary Ireland, which represents vets in practice, said: "Many vets and farmers in particular suffered significantly with brucellosis in past decades and it is greatly welcomed by the veterinary profession that this debilitating disease is no longer the hazard that it once was." 
  18. ^ Brucellosis Eradication APHIS 91–45–013. United States Department of Agriculture. October 2003. hlm. 14. 
  19. ^ Hamilton AV, Hardy AV (March 1950). "The brucella ring test; its potential value in the control of brucellosis" (PDF). Am J Public Health Nations Health. 40 (3): 321–323. doi:10.2105/AJPH.40.3.321. PMC 1528431 . PMID 15405523. 
  20. ^ Vermont Beef Producers. "How important is calfhood vaccination?" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-05-09. 
  21. ^ Mary Meagher, Margaret E. Meyer (September 1994). "On the Origin of Brucellosis in Bison of Yellowstone National Park: A Review" (PDF). Conservation Biology. 8 (3): 645–653. doi:10.1046/j.1523-1739.1994.08030645.x. JSTOR 2386505. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-01-08. Diakses tanggal 2017-01-07. 
  22. ^ Samartino, Luis E. (2002-12-20). "Brucellosis in Argentina". Veterinary Microbiology. 90 (1–4): 71–80. doi:10.1016/s0378-1135(02)00247-x. ISSN 0378-1135. PMID 12414136. 
  23. ^ "SENASA – Direcci n Nacional de Sanidad Animal". viejaweb.senasa.gov.ar. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-02-16. Diakses tanggal 2016-02-10. 
  24. ^ "Reportable Diseases". Accredited Veterinarian’s Manual. Canadian Food Inspection Agency. Diakses tanggal 2007-03-18. 
  25. ^ "Queensland Health: Brucellosis". State of Queensland (Queensland Health). 2010-11-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-04-22. Diakses tanggal 2011-06-06. 
  26. ^ Lehane, Robert (1996) Beating the Odds in a Big Country: The eradication of bovine brucellosis and tuberculosis in Australia, CSIRO Publishing, ISBN 0-643-05814-1
  27. ^ "MAF Biosecurity New Zealand: Brucellosis". Ministry of Agriculture and Forestry of New Zealand. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-20. Diakses tanggal 2011-06-06. 
  28. ^ Wilkinson, Lise (1993). "Brucellosis". Dalam Kiple, Kenneth F. The Cambridge World History of Human Disease. Cambridge University Press. 
  29. ^ Templat:WhoNamedIt2 named after Major-General Sir David Bruce di Who Named It
  30. ^ Wyatt, H. Vivian (2015). "The Strange Case of Temi Zammit's missing experiments" (PDF). Journal of Maltese History. Malta: Department of History, University of Malta. 4 (2): 54–56. ISSN 2077-4338. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-07-21.  Journal archive
  31. ^ a b c d e f g de Kruif, Paul (1932). "Ch. 5 Evans: death in milk". Men Against Death. New York: Harcourt, Brace. OCLC 11210642. 
  32. ^ Wyatt, Harold Vivian (31 July 2004). "Give A Disease A Bad Name". British Medical Journal. BMJ Publishing Group Ltd. 329 (7460): 272–278. doi:10.1136/bmj.329.7460.272. ISSN 0959-535X. JSTOR 25468794. OCLC 198096808. PMC 498028 . 
  33. ^ Malhotra, Ravi (2004). "Saudi Arabia". Practical Neurology. 4 (3): 184–185. doi:10.1111/j.1474-7766.2004.03-225.x. 
  34. ^ Al-Sous MW, Bohlega S, Al-Kawi MZ, Alwatban J, McLean DR (March 2004). "Neurobrucellosis: clinical and neuroimaging correlation". AJNR Am J Neuroradiol. 25 (3): 395–401. PMID 15037461. 
  35. ^ Wyatt, H. V. (2004-07-29). "Give a disease a bad name". BMJ (dalam bahasa Inggris). 329 (7460): 272. doi:10.1136/bmj.329.7460.272. ISSN 0959-8138. PMC 498028 . 
  36. ^ "Medicine: Goat Fever". Time. 1928-12-10. ISSN 0040-781X. Diakses tanggal 2017-05-01. 
  37. ^ Woods, Lt Col Jon B. (ed.) (April 2005). USAMRIID's Medical Management of Biological Casualties Handbook (PDF) (edisi ke-6th). Fort Detrick, Maryland: U.S. Army Medical Institute of Infectious Diseases. hlm. 53. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-06-09. 
  38. ^ Radostits, O.M., C.C. Gay, D.C. Blood, and K.W. Hinchcliff. (2000). Veterinary Medicine, A textbook of the Diseases of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. Harcourt Publishers Limited, London, pp. 867–882. ISBN 0702027774.
  39. ^ Ettinger, Stephen J; Feldman, Edward C. (1995). Textbook of Veterinary Internal Medicine (edisi ke-4th). W.B. Saunders Company. ISBN 978-0-7216-4679-4. 
  40. ^ Guzmán-Verri, C; González-Barrientos, R; Hernández-Mora, G; Morales, J. A.; Baquero-Calvo, E; Chaves-Olarte, E; Moreno, E (2012). "Brucella ceti and brucellosis in cetaceans". Frontiers in Cellular and Infection Microbiology. 2: 3. doi:10.3389/fcimb.2012.00003. PMC 3417395 . PMID 22919595. 
  41. ^ "Brucellosis". www.fws.gov. U.S. Fish &Wildlife Service. 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-09. Diakses tanggal 2016-10-03. 
  42. ^ Godfroid, J (2002). "Brucellosis in wildlife" (PDF). Revue Scientifique et Technique de l'OIE. 21 (2): 277–286. doi:10.20506/rst.21.2.1333. PMID 11974615. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-06-06. Diakses tanggal 2020-04-28. 
  43. ^ a b Godfroid, J.; Garin-Bastuji, B.; Saegerman, C.; Blasco, J.M. (2013). "Brucellosis in terrestrial wildlife" (PDF). Revue Scientifique et Technique de l'OIE. 32 (1): 27–42. doi:10.20506/rst.32.1.2180. PMID 23837363. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-06-06. Diakses tanggal 2020-04-28. 
  44. ^ P.C. Cross, E.J. Maichak, A. Brennan, B.M. Scurlock, J. Henningsen, G. Luikart (2013). "An ecological perspective on Brucella abortus in the western United States" (PDF). Revue Scientifique et Technique de l'OIE. 32 (1): 79–87. doi:10.20506/rst.32.1.2184. PMID 23837367. Diakses tanggal 2016-06-20. 
  45. ^ Ranglack DH, Dobson LK, du Toit JT, Derr J (December 17, 2015). "Genetic Analysis of the Henry Mountains Bison Herd". PLoS ONE. 10 (12): e0144239. Bibcode:2015PLoSO..1044239R. doi:10.1371/journal.pone.0144239. PMC 4682953 . PMID 26673758. 
  46. ^ a b "Brucellosis". www.fws.gov. U.S. Fish &Wildlife Service. 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-09. Diakses tanggal 2016-10-03. 
  47. ^ CDC - Hunters Risks - Animals That Can Put Hunters at Risk
  48. ^ a b c "CDC – Home – Brucellosis". www.cdc.gov. Center for Disease Control. 2016. Diakses tanggal 2016-10-03. 
  49. ^ Godfroid, J.; Garin-Bastuji, B.; Saegerman, C.; Blasco, J.M. (2013). "Brucellosis in terrestrial wildlife" (PDF). Revue Scientifique et Technique de l'OIE. 32 (1): 27–42. doi:10.20506/rst.32.1.2180. PMID 23837363. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-06-06. Diakses tanggal 2020-04-28. 
  50. ^ "Zoonoses – Brucellosis". www.who.int/en/. World Health Organization. 2016. Diakses tanggal 2016-10-03. 

Bacaan lanjutan sunting

Pranala luar sunting

Klasifikasi
Sumber luar